42. Dead Leaves

355 45 1
                                    

Sarapan pagi ini tak seperti biasanya bagi Lena. Gadis itu kembali makan di meja makan yang berdiri megah dengan banyak menu berjejer di atasnya, dia kembali ke rumah Dimilo. Tapi ada satu hal yang berubah secara drastis, Lena tak duduk sendirian lagi di ruang makan. Semua kursi meja makan terisi penuh. Mulai dari kursi kepala yang di duduki Zidan, sisi kanan yang diisi Liliana dan Chrisdy, serta Lena yang duduk bersebrangan dengan perempuan paruh baya itu.

Semuanya mendadak bertingkah hangat pagi ini. Dimulai dari Zidan yang entah dalam rangka apa membangunkan Lena di kamarnya dengan mengecup puncak kepala anak gadisnya itu, lantas menyuruhnya segera turun untuk sarapan bersama. Kemudian Liliana yang mengisikan piring Lena dengan nasi dan lauk-pauk sambil tersenyum ramah. Chrisdy tiba-tiba bercerita tentang masa kecilnya bersama Lena yang tak terlalu gadis itu dengarkan karena pikirannya teralihkan dengan tawa tiga kepala di hadapannya yang sepertinya mengira bahwa yang diceritakan Chrisdy sangat lucu dan menarik. Lena tak mengerti, kenapa mereka bertingkah seolah tak terjadi apa-apa? Kenapa mereka bertingkah seolah keluarga mereka adalah keluarga yang harmonis? Tak taukah mereka bahwa itu benar-benar membuat Lena muak sampai rasanya dia ingin memuntahkan sarapan yang baru dia suap beberapa sendok?

"Abang rindu kita yang dulu."

Lena yang semulanya menunduk, langsung mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan Chrisdy. Laki-laki itu tersenyum tipis, manis. Tatapannya terkesan hangat dan membuat kalimatnya terdengar tulus.

Lena tak mengatakan apapun, gadis itu melepaskan sendok dan garpu dari tangannya. Detik kemudian langsung berdiri dan bersiap meninggalkan meja makan. Tapi Zidan langsung menegurnya. "Bethalena, sarapan kamu belum habis." katanya dengan tegas, tapi sialnya terdengar ramah.

Lena menghela napas berat. "Tolong jangan ngomong sama aku untuk hari ini." pintanya dengan suara yang pelan, matanya menatap satu demi satu ketiga kepala itu.

"Lena..." panggil Chrisdy dengan suara memelas.

"Siapapun." Lena memejamkan matanya, seolah mengontrol emosi. "Jangan ngomong sama aku hari ini." kemudian gadis itu melangkahkan kakinya.

"Bethalena Dimilo,"

Langkah Lena langsung terhenti. Dengan tangan yang terkepal geram, dia membalikkan badannya dan menatap tajam sosok Zidan. "Ngerti nggak sih aku bilang apa?!" muarkanya. "Nggak usah ngomong sama aku!"

"Duduk." Zidan berkata tegas. "Setidaknya habiskan makananmu."

Lena berdecak jengah. "Apa ini juga termasuk perintah Papi?" tanyanya dengan senyuman hambar. "Apa GENOCIDE akan dibubarkan kalo aku nggak kembali duduk dan habisin makanan aku?"

Sebelum Zidan sempat menjawab, Lena melanjutkan dengan penuh penekanan "Enggak kan? Ya, itu jelas nggak akan terjadi."

"Bethalena, dengarkan Papimu." Liliana mencoba menegur, tapi Lena masih melanjutkan perkataannya. "Apa masih nggak cukup? Aku udah nurutin satu perintah Papi, apa itu nggak cukup?"

"Papi bilang aku cuma harus nurutin satu perintah aja kan?" suara Lena bergetar, wajahnya memanas dan jantungnya berdegub hebat. Air mungkin saja akan mengalir dari pelupuk matanya, tapi sekuat hati dia menahannya. "Aku udah nurut, apa itu nggak cukup? Apa kalian semua harus bertingkah kayak gini? Bertingkah seolah-olah kalian adalah keluarga paling bahagia dengan aku sebagai bagian dari kalian?"

Lena mengepal tangannya dengan kuat sampai buku-buku tangannya menjadi merah, dia berusaha untuk tidak menangis di hadapan mereka. "Apa kalian tahu kalo itu bikin aku muak, mual sampe aku kehilangan selera makan dan rasanya pengen muntahin lagi makanan yang baru aku suap beberapa sendok?"

"Bethalena Dimilo!"

"Aku udah nurutin satu perintah Papi, dan aku yakin itu pasti lebih dari cukup. Jadi aku mohon jangan bertingkah seolah-olah kita adalah keluarga, karena itu semakin membuat aku muak dan membenci kalian lebih dari cukup."

ALPHABET [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang