:: Bab I ::

12.4K 384 22
                                    

Matahari siang itu seakan bertengger diatas kepala. Delia menyeka beberapa titik peluh yang perlahan turun dari pelipisnya. Samping kanan kiri kerudung segi empat yang menutupi mahkotanya pun tampak basah. Sementara itu, kedua kaki besarnya terus memacu langkah lebih cepat memasuki gedung rektorat yang menjulang tinggi sepuluh langkah di depannya.

Ketika satu tangannya menyentuh gagang pintu dan mendorong pintu kaca tersebut dengan tenaga yang tersisa, hawa dingin langsung menyergap wajahnya yang terlihat kusam. Ia mencuri sedikit waktu untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Tubuh besarnya ini menghabiskan begitu banyak udara ketika ia lari. Terlebih waktu yang terus memburunya hingga ia merasa hampir mati.

"Delia?"

Sambil tetap fokus mengisi kembali rongga dadanya yang sesak setelah berlari tadi, Delia menegakkan tubuhnya untuk menemukan sumber suara yang menyerukan namanya. Kedua sudut bibirnya otomatis terangkat, tatkala kedua indra penglihatannya menangkap intensitas sesosok makhluk yang berhasil begitu saja menggelitik imannya sebagai seorang kaum Hawa.

 Kedua sudut bibirnya otomatis terangkat, tatkala kedua indra penglihatannya menangkap intensitas sesosok makhluk yang berhasil begitu saja menggelitik imannya sebagai seorang kaum Hawa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua bola mata gadis kelebihan berat badan itu sibuk meneliti setiap inchi tubuh lawan jenis yang kini sudah berada di hadapannya. Urat-urat pada lengan bisep pria itu terpampang dengan sangat jelas karena lengan kemeja biru langitnya yang sudah tergulung hingga siku. Jari-jarinya yang panjang melingkari sebuah buku modul yang cukup besar dan tebal yang menyender pada dada bidang miliknya, seakan-akan mengejek Delia, 'Benda tidak bernyawa sepertiku saja bisa bersender padanya, masa kamu kalah!'.

Baiklah, mungkin Delia sudah berlebihan karena membayangkan seonggok modul tebal bisa mengejeknya seperti itu. Hingga kini fokusnya beralih ke bagian atas pria itu. Wajah, lebih tepatnya.

Matanya yang kecil tertutup kacamata berbingkai hitam. Tanpa banyak yang tahu, bahwa di balik kacamata tebal itu terdapat manik coklat hazel yang begitu indah. Mungkin, sampai saat ini, hanya Delia-lah yang mengetahui hal tersebut dan ia merasa begitu beruntung.

Belum sempat Delia meneliti bagian wajah yang lain, satu suara dalam tiba-tiba memecah konsentrasinya begitu saja, "Delia! Mana makalah yang saya minta?"

Dengan gelagapan dan tampang 'kelewat bodoh', Delia mengerjapkan kedua matanya, masih belum sadar dengan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya kini. Sementara itu, pria rupawan di hadapannya sudah menyilangkan kedua tangan di dada sebagai tanda bahwa ia tidak bisa menunggu Delia untuk menyadari apa yang ia maksud. Tak hanya Delia yang diburu waktu, karena ia pun juga terburu-buru saat ini.

"Delia! Kamu kenapa sih? Kalau ketemu saya pasti begitu. Bisa-bisa saya harus stock sabar di rumah kalau berhadapan setiap hari sama manusia seperti kamu," ucapnya sebal seraya mendengus. Dan yang diajak bicara tanpa merespon balik ucapannya, langsung mengedepankan backpack-nya dan mengeluarkan sebuah bendel makalah yang terlihat agak tebal.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang