Pagi-pagi sekali, Delia sudah berada di rumah sakit tempat Nenek Karisma di rawat. Sementara itu, jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Sehingga aktivitas di rumah sakit terlihat masih tidak terlalu ramai.
Delia membuka pintu kamar rawat Nenek Karisma secara perlahan. Ia mengintip sejenak, dan baru kemudian masuk ke dalam ketika mendapati Nenek Karisma masih tertidur begitu pula dengan Ardan yang nampaknya menginap di sana semalam.
Ia lantas meletakkan satu tas berisi makanan yang ia bawa dari rumah di atas meja. Lalu, kedua kakinya membawa Delia mendekati ranjang Nenek Karisma. Ia merapihkan selimut wanita paruh baya itu, menaikkannya sebatas dada agar Nenek Karisma tetap merasa hangat. Biarlah Nenek Karisma beristirahat lebih lama. Tubuhnya butuh istirahat yang cukup.
Setelahnya, Delia beranjak mendekati Ardan yang tertidur di sofa. Posisinya terlihat tidak nyaman. Satu tangan pria itu menutupi matanya, sedangkan satu tangannya lagi menjuntai ke bawah begitu saja. Sementara kedua kakinya memanjang di atas lengan sofa.
Berusaha untuk tetap tidak menimbulkan suara, Delia merapihkan selimut yang tidak sepenuhnya menutupi tubuh Ardan. Baru kemudian ia mendudukan dirinya di lantai lalu meletakkan kepalanya di atas meja dengan disangga oleh salah satu tangannya. Dalam diam, ia memperhatikan wajah kelelahan Ardan yang begitu ketara. Seulas senyum tipis terbentuk oleh kedua sudut bibir Delia, tatkala ia menyadari bagaimana Ardan bisa begitu tampan bahkan saat tertidur. Satu tangannya pun tanpa sadar sudah terangkat, merapihkan rambut Ardan yang menutupi dahi pria itu. Rambutnya sudah mulai panjang dan sudah seharusnya Ardan memangkasnya.
Delia tidak pernah membayangkan bisa dijodohkan dengan manusia sesempurna Ardan. Dia tampan, mapan, sayang keluarga, dan juga baik. Kekurangnya hanya satu. Pria itu masih belum bisa melupakan Ardelia untuk menerima dirinya. Ya, hanya itu.
Lantas, otak Delia memutar kembali ingatan semalam, ketika Ardan yang tiba-tiba muncul begitu saja saat ia sedang berbicara dengan David.
"Saya calon suami Delia."
Napas Delia tanpa sadar tertahan di tenggorokannya, ketika Ardan dengan begitu tegas dan lantang mengatakan hal tersebut. Pun dengan genggaman pria itu yang semakin erat pada tangan Delia. Berhasil menaikkan tempo detak jantung gadis gempal itu hingga tidak karuan.
"Apa?" sahut David dengan ketidakpercayaan yang terlihat jelas pada wajah tampannya. Kedua mata pria itu lantas melirik Delia yang berdiri di belakang tubuh tinggi Ardan. Menuntut penjelasan atas apa yang dikatakan Ardan baru saja.
"Saya harap anda sebagai dosen bisa membangun hubungan yang profesional selayaknya seorang dosen dengan mahasiswanya. Terima kasih karena sudah mengantar calon istri saya. Semoga ini bisa menjadi yang terakhir. Selamat malam."
Setelah menyelesaikan kalimat yang sarat akan emosi itu, Ardan menarik tangan Delia pergi. Kedua kakinya membawa mereka masuk ke dalam gang rumah Delia. Meninggalkan David yang hanya bisa diam membisu, masih tidak bisa mempercayai apa yang sebenarnya terjadi.
Di tengah perjalanan mereka, Ardan tiba-tiba saja menghempaskan genggamannya pada tangan Delia. Cukup sukses membuat gadis gempal itu terkejut tentu saja. Ia lantas mengusap wajahnya kasar, dan tanpa diduga meninju tembok semen yang ada di sekitar mereka.
"Mas Ardan!" pekik Delia dengan suaranya yang ketakutan. Sementara Ardan menurunkan tangannya, yang sudah mengeluarkan darah. Napas pria itu terlihat naik turun tidak teratur. Melihat sosok yang sudah menghancurkan kebahagiannya itu berhasil membangkitkan amarahnya menjadi tidak terkendali dan meluap-luap. Dan Ardan yang bingung harus meluapkannya pada siapa pun akhirnya meninju apapun yang ada di sekitarnya. Setidaknya untuk membuang sedikit demi sedikit amarahnya yang masih tersisa untuk seorang David Brawijaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Подростковая литератураKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...