Untuk sesaat, David mengerjapkan matanya. Ia masih belum terbiasa dengan cahaya dari lampu kamarnya yang menyala. Kepalanya pun masih terasa berdenyut, meski begitu, napasnya tidak sesesak sebelumnya. Tubuhnya lantas bergerak pelan, mendudukan diri walau punggungnya harus tetap bersandar pada kepala kasur.
"Kamu sudah bangun, David?"
David mengangkat kepalanya, dan berhasil menemukan Meira yang tengah berjalan menghampirinya dengan satu nampan di tangan. Wanita cantik itu kemudian duduk di tepi kasur, masih memaku pandangannya pada David yang terlihat lemas dan pucat.
"Ini jam berapa, Kak?"
Meira tampak menghela napasnya terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sang adik, "Jam sepuluh pagi."
Tidak mungkin bagi David untuk tidak terkejut. Seingatnya, ia masih mengunjungi ruang kerja Papinya pada pukul tujuh malam. Dan ternyata ia sudah tertidur cukup lama sampai kesiangan. Padahal, seharusnya ia mengerjakan beberapa penilaian ujian akhir semester mahasiswa-mahasiswinya yang masih tersisa di kampus.
Mengingat Papinya, pun tidak membiarkan David untuk tidak mengingat yang terjadi semalam. Akan tetapi, ia memilih melupakannya sedikit demi sedikit. Kepalanya masih terus berdenyut, dan ia tidak bisa memaksakan diri untuk terus merenungi apa yang dikatakan Tuan Brawijaya padanya semalam.
"Sudah lebih baik?" tanya Meira kemudian setelah melihat David hanya terdiam. Wanita itu tersenyum lembut ke arah David, seraya meletakkan nampan berisi creme soup, segelas air putih, dan beberapa botol obat milik David. Setelahnya, ia menggenggam tangan pria itu dengan erat, berusaha memberi penguatan untuk apa yang telah di alami adiknya itu semalam. Namun, ia tidak banyak bicara. Membiarkan David untuk menenangkan dirinya sendiri saat ini.
"Kak Mei gak ke kantor?"
Meira menggeleng pelan, masih dengan senyum yang setia terpantri di wajahnya ketika David memperhatikannya dengan sedikit bingung, "Kakak gak bisa membiarkan adik kakak dalam keadaan seperti ini sendirian di rumah."
"Tapi, kan, ada banyak pekerja rumah di sini. Mereka bisa membantuku kalau ada apa-apa. Lagipula, aku sudah baik-baik saja sekarang. Kakak tidak perlu khawatir."
Kepala Meira menunduk sesaat. Ia tidak mengerti harus bereaksi apa. Memikirkan adiknya itu selalu berhasil mencubit hatinya. Meira hanya ingin melihat David bahagia. Tidak terus menerus hidup dalam bayang-bayang dosanya terhadap Ardelia ataupun segala ancaman Tuan Brawijaya. Namun, Papinya itu tetaplah Papinya. Yang akan selalu menghalalkan segala cara untuk membuat keinginannya bisa terwujud.
Meira tidak bermaksud menuduhkan sesuatu yang buruk pada Papinya. Hanya saja, ia takut jika Tuan Brawijaya bisa berbuat hal yang aneh-aneh pada Delia, setelah mengetahui bahwa David menyukai gadis gempal itu. Ia yakin, Tuan Brawijaya tidak akan membiarkan David hidup tenang sebelum adiknya tersebut mau menuruti keinginannya dengan bekerja di perusahaan miliknya. Dan bisa saja, Tuan Brawijaya melibatkan Delia dalam hal ini. Ia tidak mau hal seperti itu terjadi.
"Kalau begitu Kakak keluar dulu, ya. Harus menjemput Bella. Jangan lupa, habiskan sarapanmu dan minum obatmu agar sakit kepalamu itu hilang," ucap Meira, setelah menghela napasnya dengan berat. Yang direspon David dengan anggukan pelan, membiarkan sang kakak mengelus rambutnya lembut dan meninggalkan dirinya keluar dari kamar.
Sepeninggal Meira, David kembali termenung. Usahanya untuk tidak terus menerus memikirkan kata Papinya semalam sangat sulit untuk ia lakukan. Justru, kata-kata itu terus menerus terngiang di dalam kepalanya.
"Sst. Jangan seperti ini, Nak. Dia pasti tidak akan menyukaimu yang lepas kontrol seperti ini. Oh, dan mungkin dia akan lebih membencimu kalau tahu bagaimana kelamnya masa lalumu itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...