:: Bab XVIII ::

2.2K 174 18
                                    

Setelah habis-habisan dimarahi karena membuat keonaran dan disuruh membuat surat pernyataan, Delia dan Luna akhirnya bisa keluar dari ruang dekan bidang kemahasiswaan tersebut. Jam pada pergelangan tangan mereka masing-masing sudah menunjukkan pukul enam sore, bersamaan dengan langit yang perlahan tapi pasti mulai menggelap. Keduanya lantas memilih untuk segera pulang karena kondisi mereka yang sudah tidak karuan. Terlebih lagi Luna yang rambutnya yang mengembang dan kusut sudah seperti singa. Beberapa goresan dan cakaran juga tampak menghiasi kulit mulus gadis cantik itu, sehingga seringkali ia meringis menahan perih ketika lukanya tidak sengaja tersentuh oleh tangannya sendiri.

Delia yang melihat keadaan Luna tentu menjadi merasa sangat bersalah. Hanya karena membela dirinya, Luna sampai harus terluka seperti ini. Ia bahkan tidak memperdulikan lukanya yang juga cukup parah, tapi memang tidak sebanding dengan Luna. Sembari terus berjalan menuju pintu keluar kampus, Delia membantu meniupi luka-luka Luna yang persis seperti habis diserang macan. Melihat usaha sahabatnya itu, Luna sekedar terkekeh geli, “Udah. Gak apa-apa. Luka kayak gini mah, biasa.”

“Lagian lu bar-bar banget, sih jadi cewek. Gue, tuh takut banget tau gak, pas lu dijambakin sama Eliza kayak tadi. Begini kan, jadinya,” sahut Delia dengan wajahnya yang merenggut kesal. Akan tetapi, kekhawatiran itu masih tetap terlihat ketara pada air mukanya.

“Bar-bar ini udah keturunan dari keluarga gue. Gak bisa gue musnahin gitu aja. Lagipula, salah tuh nenek lampir sendiri mancing-mancing gue. Pake ngomongin yang macem-macem tentang lu. Emang gak ada adabnya tuh cewek.” kekesalan masih terdengar jelas dari suara Luna yang menjawab sahutan Delia tadi. Jika boleh jujur, ia masih sangat marah pada Eliza yang sudah se-enaknya berbicara yang tidak-tidak tentang sahabat kesayangan di sampingnya itu. Akan tetapi, untung saja Delia masih bisa menyadarkan dirinya untuk tidak terpancing emosinya lebih lama lagi. Sehingga ia pun berusaha menenangkan hatinya sendiri agar tidak terus menggerutu dan berhenti merapal sumpah serapah yang tidak baik untuk Eliza.

Masih sambil membantu meniupi luka cakaran Luna dan berusaha merapihkan rambut Luna yang keadaannya sudah tidak bisa tertolong, Delia mengelus punggung sahabatnya tersebut dengan lembut. Menyalurkan ketenangan bagi hati panas Luna agar lebih dingin, “Udah, ah. Gak usah bahas dia. Mending pikirin, nih luka cakaran lu banyak banget. Pasti perih kalau kena air. Rambut lu juga nih. Kusut banget tau.”

Luna justru tertawa sendiri, seraya melihat rambutnya yang membuatnya tampak seperti singa. Tawanya itu pun berhasil menular pada Delia, hingga sahabatnya itu pun tidak bisa menahan diri agar tidak tertawa terpingkal-pingkal. Kalau dipikir-pikir, mereka konyol juga. Jambak-jambakan dan cakar-cakaran dengan orang yang sudah berbicara yang tidak baik tentang mereka, sampai dipangil dosen dan berakhir menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulai hal yang sama atau nilai mereka akan terancam. Padahal, mereka bisa saja membalas perkataan Eliza yang sembarangan itu dengan cara yang lebih anggun dan berkelas. Bukannya malah membuat keributan di kantin dan disaksikan oleh hampir seluruh mahasiswa kampus mereka. Pasti setelah ini mereka akan jadi viral seantero kampus.

Sesampainya mereka di pintu keluar kampus, Delia pun melihat ke arah halte busway yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri, mencoba melihat apakah busway tujuan rumahnya ada atau tidak. Namun, pergerakan kedua matanya justru terhenti dengan eksistensi seorang pria tampan yang sedang bersedekap sambil bersandar di pintu mobil Range Rover hitamnya.

“Mas Ardan?”

Gumaman Delia itu ternyata berhasil mencuri perhatian Luna. Ia yang begitu penasaran memutuskan ikut melihat ke arah pandangan Delia, karena jujur saja ia sangat penasaran, seperti apa sosok menyebalkan yang katanya hendak dijodohkan dengan sahabatnya itu. Lantas berakhirlah dengan dia yang hanya bisa menutup mulutnya yang tiba-tiba saja sudah terbuka lebar karena terlalu terkagum-kagum dengan pesona menawan seorang Ardan yang saat itu mengenakan setelan jas dan celana bahan yang sangat pas di tubuhnya yang proporsional.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang