:: Bab LII ::

1.7K 131 32
                                    

"Kamu senang?"

Zelia menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ardan dengan anggukan cepat. Senyumnya pun ikut tersungging lebar, selagi matanya menatap balik pria yang tengah menyelimuti kakinya itu agar tetap merasa hangat, "Senang banget!"

"Makannya, kamu jangan nekat kayak kemarin. Biar makin cepet sembuh, makin cepet juga pulangnya."

Tawa pelan Zelia menguar. Benar apa kata Ardan. Jika saja kemarin dia tidak nekat mengejar Ardan yang tiba-tiba saja keluar meninggalkannya setelah pembicaran itu, mungkin hari ini ia bisa diperbolehkan pulang. Dan karena kebodohannya sendiri itu dia mau tidak mau harus tetap bertahan di tempat yang amat sangat membosankan ini.

"Iya, sih. Gak lagi-lagi, deh."

"Janji?"

"Janji," jawab wanita itu kemudian, lantas mengacungkan kelilingkingnya pada Ardan. Dan dibalas pria tampan tersebut dengan turut menautkan kelingkingnya pada kelingking Zelia. Di saat bersamaan, senyum yang merekah di wajah mereka berdua pun semakin lebar dan berakhir dengan tawa renyah.

"Oh, iya. Ardan?"

"Hm?"

"Aku... boleh minta tolong lagi gak sama kamu?"

"Kenapa?"

Alih-alih langsung menjawab, Zelia justru nampak bingung sendiri. Bola matanya bergerak gelisah, tidak berani menatap Ardan yang tengah menunggu jawabannya dengan penasaran. Wanita itu tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Ardan, takut-takut pria tersebut malah jadi merasa tidak nyaman.

Ardan yang menyadari kegelisahan Zelia pun mengernyitkan keningnya tipis. Sebelum akhirnya meletakkan satu tangannya di pucuk kepala Zelia dan memberikan sorot mata yang menenangkan, "Kenapa? Aku bakal tolongin kalau aku bisa."

"Hm... itu... kamu bisa gak, beliin pembalut buat aku?"

Usai menyelesaikan kata-katanya, Zelia menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Ia lantas memperhatikan Ardan yang nampak sedikit kaget, lalu justru terdiam. Sepertinya, pria itu merasa tidak nyaman dengan permintaannya barusan, "Kalau kamu gak bisa, gak apa-apa. Aku bisa minta tol—"

"Aku bisa."

"Eh?"

"Aku beliin dulu, ya. Kamu tunggu di sini aja, jangan kemana-kemana. Kalau kamu butuh sesuatu panggil suster atau tunggu aku kembali, oke?"

Sahutan Ardan yang terdengar menenangkan pun berhasil menarik kedua sudut bibir Zelia untuk tersenyum. Wanita itu lantas menganggukan kepalanya, mengiyakan apa yang Ardan katakan. Ia meraih satu tangan Ardan dan mengelusnya dengan lembut, "Terima kasih, ya, Ardan."

"Aku pergi dulu, ya," jawab Ardan, sesaat mengelus rambut Zelia yang tergerai baru kemudian beranjak pergi dari sana. Namun, sebelum menutup pintu kamar rawat Zelia rapat-rapat, Ardan menyempatkan diri untuk memastikan apakah wanita itu baik-baik saja atau tidak. Tatkala Zelia melebarkan senyum ke arahnya, Ardan tahu bahwa dirinya bisa meninggalkan Zelia untuk sementara waktu. Ya, ia hanya perlu segera pergi ke supermarket dan mencari salah satu keperluan penting milik wanita itu.

Usai menempuh perjalanan singkat selama lima belas menit dengan berjalan kaki menuju supermarket yang ia tuju, Ardan bergegas masuk ke dalam. Untung saja, ada supermarket besar yang berada tidak jauh dari rumah sakit sehingga memudahkan Ardan untuk datang ke sana meski hanya dengan berjalan kaki. Ia juga tidak lupa untuk mengambil trolley belanjaan di depan pintu, lantas menuju bagian keperluan khusus wanita. Akan tetapi, saat melihat di koridor tersebut dipenuhi oleh konsumen perempuan, Ardan jadi meragu dan malu sendiri. Bagaimana tanggapan orang-orang kalau pria sepertinya membeli pembalut wanita? Pasti akan sangat memalukan.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang