Mustahil bagi Delia untuk tidak memikirkan gelagat aneh David kemarin sore. Ia ingin bertanya, tapi dirinya juga masih merasa ragu. Bisa saja, kan memang pria itu sedang ada banyak urusuan sehingga meninggalkan Delia begitu saja setelah menanyakan keadannya. Namun, tetap saja terlalu sukar untuk dipercaya Delia bahwa David sampai datang ke rumahnya hanya untuk menanyakan bagaimana keadaan dirinya. Dan tiba-tiba saja pergi setelah melihat cincin di jari manisnya. Semua terasa sangat aneh.
"Ah, pusing! Mana eksum belum ke jual lagi," gerutu Delia kemudian, menyadari kepalanya hampir saja pecah karena begitu banyak hal yang harus ia pikirkan. Sementara di tangannya masih ada tiga eksum yang belum berhasil ia jual. Ia belum bisa bertemu Luna sejak kemarin karena gadis cantik itu sibuk liburan keluar negeri dengan orang tuanya. Sedangkan ia tidak punya banyak waktu lagi sampai ke hari H acara pensi jurusannya. Delia benar-benar tidak tahu harus apa.
TOK! TOK!
Suara ketukan pintu membuat Delia yang uring-uringan di atas sofa kamar Ardan lantas berdiri. Meletakkan ketiga eksumnya di atas nakas samping tempat tidur. Kemudian dengan langkahnya yang gontai ia menghampiri pintu dan membukanya. Menemukan Mama Ardan yang tersenyum lembut ke arahnya saat ini, "Eh, Mama."
"Makan malam, yuk?"
"Y-ya?"
Delia bergegas menoleh ke arah jam yang tertempel di dinding kamar Ardan. Kedua matanya kemudian membesar, menyadari saat ini sudah pukul setengah delapan malam. Waktunya keluarga Karisma untuk makan malam bersama. Ah, dia terlalu sibuk memikirkan banyak hal sampai lupa kalau seharusnya ia membantu Mama Ardan menyiapkan makan malam untuk mereka semua.
"Yah, Mama, maaf Delia gak bantuin Mama tadi. Masih ada yang bisa Delia bantu, gak, Mah? Ayo, kita ke bawah."
Mama Ardan kemudian menahan tangan Delia yang sudah menggandengnya dan akan mengajaknya turun ke bawah. Seulas senyumnya semakin melebar diiringi dengan tawa renyah untuk mereaksi gelagat lucu yang ditunjukan menantunya itu.
"Ya ampun, Delia. Gak apa-apa, kok, sayang. Semuanya juga sudah siap. Mama memang sengaja gak manggil kamu buat bantuin nyiapin makan malam. Soalnya, keliatannya kamu lagi pusing banget tadi. Ada apa, sih?"
Tangan Mama Ardan pun merangkul Delia dengan hangat. Sementara wajah Delia tampak tertekuk lucu. Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia sangat kebingungan saat ini. Namun, ia berusaha sebisa mungkin memaksakan senyum pada bibirnya. Memberitahu mama mertuanya itu bahwa ia baik-baik saja.
"Gak apa-apa, kok, Mah. Cuma kepikiran sama acara kampus aja."
"Oh, siapa tau Mama bisa bantu?"
"Gak, Mah. Delia gak mau ngerepotin Mama."
Sebelah alis Mama Ardan terangkat, bersamaan dengan langkahnya yang terhenti dan matanya menatap Delia dengan serius, "Bener, nih?"
"Iya, Mah. Dua rius malah!" jawab Delia setelahnya, sambil mengangkat kedua jarinya disertai cengiran andalannya itu. Membuat Mama Ardan hanya bisa tertawa ringan, sebelum akhirnya mengajak menantunya tersebut untuk ikut makan malam bersama di bawah.
"Mah, Mas Ardan belum pulang, ya?"
Sambil menuruni satu persatu anak tangga menuju ruang makan, Delia kemudian mempertanyakan kehadiran Ardan. Sejak tadi ia belum mendengar deru mesin mobil pria itu yang memasuki garasi rumah. Pun, ia juga tidak berani menghubungi Ardan secara langsung, takut mengganggu pekerjaannya nanti.
"Kayaknya belum, deh. Coba aja nanti Delia telpon, ya."
Delia lantas hanya bisa mengangguk, mengiyakan titah mama mertuanya tersebut. Meski dalam hati ia masih merasa cemas karena kemarin jam segini Ardan sudah pulang, sedangkan sekarang batang hidungnya belum terlihat sama sekali. Tapi, mungkin memang pekerjaannya sedang sangat banyak sehingga belum bisa pulang sekarang. Ya, Delia hanya berharap Ardan bisa baik-baik saja dan tidak ada sesuatu buruk yang menimpanya dimanapun ia berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...