:: Bab XXVII ::

1.9K 137 11
                                    

"Dok, bagaimana keadaan Ibu saya?!"

Setelah hanya bisa menunggu di luar dengan kecemasan, Papa Ardan langsung menyerbu dokter yang baru saja keluar dari kamar rawat ibunya, Nenek Karisma. Dilihatnya ekspresi dokter itu tidak terbaca, membuat kecemasannya itu semakin menjadi.

"Untuk saat ini, Alhamdulillah Ibu Karisma berhasil melewati masa kritisnya. Meskipun begitu, kita masih tidak tahu keadaannya bisa terus stabil atau tidak. Penyakit jantung Ibu Karisma sudah sangat parah, sehingga  tidak banyak yang bisa kami lakukan. Yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah berdoa agar Allah memberikan mukjizat kepada Ibu Karisma."

Begitu dokter menyelesaikan penjelasannya, Papa Ardan menghela napasnya dengan berat. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan frustasi, menyimpulkan dari penjelasan dokter di hadapannya itu bahwa kemungkinan Ibunya untuk kembali sehat sangatlah kecil. Sedangkan dirinya masih tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya ia jika Nenek Karisma harus pergi meninggalkannya nanti.

Mama Ardan yang sangat mengerti dengan pikiran kalut suaminya langsung mengusap punggungnya, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan bagi pria setengah baya itu. Ia juga sangat amat menyayangi mertuanya itu. Dan ia hanya bisa terus merapal doa dalam hatinya agar Allah bisa memberikan kesehatan kembali bagi Nenek Karisma.

"Bapak bisa masuk untuk menemui Ibu Karisma. Tapi, usahkan tetap tenang, ya, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu."

Begitu dokter tersebut berlalu pergi, Papa Ardan kemudian masuk ke dalam kamar ibunya bersama sang istri. Kedua matanya sudah berkaca-kaca, melihat keadaan Nenek Karisma yang terkapar lemah di atas ranjang dengan berbagai alat bantu pernapasan yang terpasang di tubuhnya. Berusaha setenang mungkin, Papa Ardan beranjak menghampiri sang Ibu lantas menggenggam tangan keriputnya dengan sangat erat.

"Ibu, saya di sini."

Papa Ardan dapat melihat satu senyum kecil yang berusaha diperlihatkan Nenek Karisma, seakan mencoba memberitahunya bahwa ia baik-baik saja. Yang otomatis berhasil membuat Papa Ardan tidak dapat menahan air matanya. Tubuhnya yang sudah lemas karena tidak sempat memakan apapun demi mengejar penerbangan paling cepat untuk membawanya pulang, lantas jatuh berlutut di samping ranjang Nenek Karisma. Ia menundukkan kepalanya sambil terus menciumi tangan ibunya tersebut. Merasa sangat tidak siap untuk kemungkinan paling buruk yang bisa saja terjadi.

"Nak..."

Suara lirih Nenek Karisma mengalun di dalam telinganya. Membuatnya langsung mengangkat wajahnya dan menghapus jejak air mata yang tersisa. Ia tidak ingin Ibunya melihat dirinya seperti ini. Ia harus kuat dan tegar demi wanita yang paling ia sayangi itu.

"Ya, Ibu? Ibu mau apa, Bu? Ibu mau sesuatu?"

Nenek Karisma menggeleng pelan, sementara satu tangannya mengelu kepala Papa Ardan dengan sayang, "Apa kamu bisa wujudkan keinginan terakhir Ibu?"

"Apa, Bu?"

"Tolong, secepatnya nikahkan Ardan dan Delia. Sepertinya, Ibu tidak bisa menunggu lebih lama lagi."

...

Fortuner putih David sudah memasuki lahan parkir rumah sakit. Delia pun bergegas turun dari mobil tersebut, sementara pikirannya sudah kalang kabut karena mendengar kabar Nenek Karisma. Ia bahkan tidak sadar bahwa David yang melihatnya cemas, jadi ikut-ikutan cemas dan berakhir mengekori gadis itu.

Bersamaan dengan itu, Ardan yang juga baru tiba dari kantornya bergerak secepat mungkin memasuki rumah sakit. Namun, langkahnya lantas terhenti ketika kedua matanya menangkap kehadiran Delia yang tampak cemas, diikuti David di belakangnya.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang