:: Bab III ::

3K 227 17
                                    



Nenek Karisma menoleh pada Delia yang tampak terbengong-bengong. Beliau meraih tangan gempal gadis itu dan berusaha menyadarkannya bahwa air liur Delia hampir saja jatuh karena terus memperhatikan Ardan tanpa berkedip, "Delia?"

Sentuhan pada sebelah tangannya yang bebas berhasil mengejutkan Delia. Gadis tersebut berusaha menghirup udara secepatnya karena tiba-tiba saja ia tidak tahu caranya bernafas dengan baik setelah kehadiran Ardan di sana. Dengan gelagapan, ia menoleh pada Nenek Karisma yang tengah mengulas senyum padanya.

"Ke-kenapa, Nek?"

Yang ditanya hanya mesem-mesem saja. Nenek Karisma menyadari bagaimana pesona cucu favoritnya itu bisa menghipnotis siapa saja. Salah satunya adalah gadis di hadapannya saat ini.

"Ya ampun, sampe gagap-gagap gitu ngomongnya pas ada Ardan. Kenapa? Delia naksir ya sama Ardan?" tanya Nenek Karisma begitu saja, sangat berhasil mempercepat tempo degup jantung Delia saat ini. Entah kenapa, Delia merasa sudah ketangkap basah. Padahal ia benar-benar tidak bermaksud seperti itu.

Mendengar perkataan Neneknya, Ardan juga terkejut. Gadis gendut itu naksir sama dia? Tampangnya saja masih seperti bocah, dan penampilannya yang bahkan tidak menarik perhatian Ardan sama sekali. Pria tampan itu memang memberikan hak untuk setiap gadis memiliki perasaan terhadapnya. Tetapi, ada pengecualian untuk Delia. Gadis itu benar-benar bukan tipe ideal seorang Ardan.

Mendengus kecil adalah yang dilakukan Ardan untuk merespon ucapan Neneknya yang sebenarnya ditujukan untuk Delia. Ia kemudian langsung merangkul bahu wanita paruh baya di sampingnya dan mengajaknya untuk pergi dari sana.

"Nek, ayo. Papa sama Mama sudah nungguin Nenek, tuh. Yuk!"

"Tapi, Ardan kamu kenalan dulu, dong sama Delia. Dia ini yang nemenin Nenek selama kamu di Amsterdam dulu. Ayo, Delia kenalan sama Ardan," perintah Neneknya mengelus pundak Delia sayang. Menyadarkan Delia kembali setelah tadi melamun untuk yang kesekian kali.

Ragu, Delia mengangkat sebelah tangannya, berniat melakukan apa yang diperintahkan Nenek Karisma tadi. Bagaimanapun dari hasil pengamatannya terhadap Ardan, nampaknya Ardan jauh lebih tua darinya. Setidaknya, sebagai bentuk kesopanan ia yang akan mengulurkan tangan terlebih dahulu.

"Assalamualaikum, Mas Ardan. Saya Del-"

"Udah, Nek. Ayo, Mama sama Papa udah nelfonin Ardan, nih. Ayo."

Belum sempat Delia melanjutkan ucapannya, apa yang dilakukan Ardan secara tiba-tiba itu membuatnya bingung, dan kecewa. Sebelah tangannya yang terulur masih tergantung di udara, sementara orang yang akan ia ajak bersalaman sudah membalik tubuh Nenek Karisma dengan sedikit paksaan dan bergegas pergi begitu saja. Seolah, tidak merasakan intensitas seorang Delia yang jelas-jelas berdiri di sana dengan tubuh besarnya.

"Del? Duh, gue lama, ya?"

Bahkan, Luna yang sudah berada di hadapannya pun tidak digubris oleh Delia yang masih sibuk mengikuti jejak kepergian Ardan dan Nenek Karisma dengan kedua indra penglihatannya. Sebagian ruang perasaannya terasa mencelos dan tak percaya, begitu melihat sikap cuek kelewat sombong Ardan terhadapnya. Ia kira Ardan di dunia maya dan dunia nyata akan menjadi Ardan yang sama, hangat dan berwibawa. Tetapi, pemikirannya ternyata salah.

Tepukan keras pada punggungnya, menghenyakan lamunan Delia. Kedua bola matanya mengerjap sesaat, sebelum beralih pada wajah Luna dengan ekspresi kekhawatiran yang begitu ketara, "Del? Kok lu ngelamun, sih? Ada apa?"

Menyadari dirinya yang sudah membuat Luna cemas bukan main, Delia langsung mengulas cengiran bodoh andalannya. Ditambah dengan sebelah tangannya yang kini menggaruk bagian belakang lehernya yang sebenarnya tidak gatal. Jurus andalan untuk memecah situasi menegangkan seperti ini, "Oh, gue gak apa-apa. Cuma tadi kebanyakan makan jadinya ngantuk terus gue jadi ngelamun melulu gara-gara ngantuk. Lu kenapa lama banget, sih?"

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang