Langit sore itu begitu cantik. Warnanya oranye ke-emasan. Delia bahkan tidak mampu melepas pandangannya dari pemandangan indah senja tersebut sedikit pun. Kedua matanya memandang jauh, sementara bibirnya sesekali menghela napas dengan berat. Cukup menarik atensi David yang sejak tadi setia menemaninya, terduduk tepat di samping dirinya.
"Kenapa?"
Pria tampan itu akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya. Ia memperhatikan gerak gerik gadis gempal di sampingnya tersebut, mencoba memahami apa yang sebenarnya tengah dipikirkan olehnya. Namun, Delia dengan cepat menggelengkan kepalanya. Lantas menoleh kepada David dan mengulas senyum tipis, "Aku harus pulang sekarang."
Tubuhnya pun tergerak. Delia beranjak dari kursi taman yang ia duduki, sembari meraih tas dan juga goodie bag berisi tempat makannya. Baru kemudian, indra penglihatannya itu teralih ke arah David, yang turut beranjak dan menatapnya dengan sedikit cemas, "Aku antar, ya?"
"Tidak usah. Aku bisa sendiri, kok."
"Tapi—"
"Aku pulang dulu, ya."
Delia menyahut cepat, disertai kedua sudut bibirnya yang mengembang lebih lebar. Bahkan, belum sempat David menyahut, kaki besarnya sudah lebih dulu melangkah, membawa tubuhnya beranjak dari posisi berdirinya tadi. Sedangkan senyumnya sudah menghilang secara perlahan.
"Delia, tunggu."
Dengan cepat, satu tangan David meraih tangan Delia, lantas menariknya hingga tubuh gadis gempal itu mau tidak mau berputar ke arahnya. Ia menggunakan waktu untuk menatap kedua mata Delia lekat-lekat. Berusaha mencari sesuatu yang sebenarnya tengah dipikirkan oleh gadis tersebut. Namun, yang ada hanyalah tatapan kosong di sana.
"Kamu benar baik-baik saja? Aku antar pulang, oke?" tawar David, seraya menyunggingkan senyum supaya Delia mau mengikuti kata-katanya. Akan tetapi, ia justru harus menahan setitik kekecewaan, tatkala lagi-lagi Delia menggelengkan kepala, bersamaan dengan senyum manis yang entah bagaimana terlihat dipaksakan.
"Tidak usah, David. Aku bisa sendiri."
"Tapi, ini sudah hampir malam. Aku harus mengantar kamu pulang."
"Aku bisa sendiri, sungguh," jawab Delia, untuk yang kesekian kalinya menolak tawaran tersebut. Tangannya pun kemudian tergerak, melepaskan tangan milik David secara perlahan. Lewat sorot matanya yang membalas tatapan pria tampan di hadapannya itu, ia mencoba meyakinkannya bahwa dirinya akan baik-baik saja. Entahlah, jika saja boleh jujur, ia butuh waktu menyendiri untuk sekarang ini.
"Delia—"
"Oh, ya. Besok jadi, kan? Aku benar-benar tidak sabar untuk ke sana. Kali aja aku bisa bertemu Teh Risa. Ya, kan?"
Kekehan geli mengakhiri ucapan Delia. Ia mengalihkan pandangannya ke sekitar untuk sesaat, lalu mengambil napasnya dalam-dalam. Dirinya menyempatkan waktu untuk menatap David, lalu tersenyum untuk yang terakhir kalinya, "Aku pulang dulu. Kamu juga pulang, ya. Pasti keluarga kamu mencari kamu. Sampai jumpa besok."
Tubuh David terpaku pada rerumputan yang ia pijak. Ia tidak bergerak sedikit pun, untuk paling tidak kembali mengejar Delia yang sudah menjauh dari pandangannya. Meski dalam hatinya ia begitu khawatir, tetapi melihat sorot mata Delia membuatnya mencoba memahami. Sehingga ia memutuskan untuk memutar balik tubuhnya, berjalanan ke arah yang berlawan dari jejak kepergian gadis gempal itu.
Sementara itu, Delia langsung mendudukan dirinya di bangku paling belakang busway yang baru saja ia naiki. Ia menghela napasnya sesaat, sebelum akhirnya menyandarkan kepalanya pada jendela. Seraya menatap jalanan di luar sana yang tidak begitu padat seperti hari kerja biasanya, otak Delia justru mengulang kembali apa yang sudah dikatakan David beberapa saat yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Fiksi RemajaKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...