Hari-hari berlalu begitu cepat. Kondisi Delia kini sudah sangat membaik. Ini semua berkat kehadiran Ardan yang sekarang lebih memilih untuk selalu pulang ke rumah daripada menginap di kantor. Delia pun tidak mengerti mengapa bisa hanya dengan adanya Ardan, tubuhnya jadi lebih cepat sembuh dari biasanya. Namun, ia tidak perduli. Yang jelas ia bahagia karena sedikit demi sedikit, pria itu terus mencurahkan perhatian padanya.
Seperti saat ini, mereka memutuskan ikut Car Free Day untuk menghabiskan Minggu pagi bersama. Ardan menggunakan kesempatan itu untuk berolahraga dengan berlari-lari kecil, karena terus-terusan berjibaku dengan pekerjaan membuatnya jarang punya waktu untuk kembali olahraga sebagaimana mestinya. Namun, hal itu jauh berbanding terbalik dengan Delia yang tampak terengah-engah karena mengikuti pria di depannya tersebut. Lari kecilnya Ardan adalah lari sprint untuknya dan Delia benar-benar tidak sanggup kalau harus terus mengikuti Ardan.
"Mas Ardan, jangan cepat-cepat..."
"Mas Ardan, tungguin..."
"Mas Ardan cepat banget larinya..."
"Mas Ardan, saya capek..."
Adalah sekumpulan bentuk keluhan Delia yang beberapa kali harus berhenti demi bisa menghirup oksigen untuk mengisi rongga dadanya yang sesak. Ya, ia akui ia memang salah karena jarang berolahraga sehingga baru begini saja ia sudah lelah. Tapi, tetap saja. Lagipula ia juga baru saja sembuh dari sakit, tetapi Ardan justru memaksanya untuk ikut Car Free Day. Jadilah dirinya harus seperti ini.
"Ini belum ada apa-apanya, loh, Del. Masa kamu udah capek?"
"Ya Mas Ardan cepat banget larinya. Saya gak bisa ngejar," jawab Delia seraya berjongkok di hadapan Ardan yang memutar langkahnya kembali. Pria itu berkacak pinggang, sambil memperhatikan gadis gempal di hadapannya dengan kening yang mengernyit dalam, "Saya cuma lari-lari kecil, Delia. Gak sprint."
"Ya, tetap aja saya gak bisa ngejarnya."
"Makannya jangan makan sama tidur terus kerjaannya."
"Ih, Mas Ardan!"
Delia reflek berdiri, dan menatap Ardan dengan tidak terima. Tentu saja ia kesal pada Ardan yang justru mengungkit-ungkit kebiasaan buruknya itu. Padahal, tidur dan makan adalah kebutuhan hidup pokok seorang manusia. Sedangkan Delia hanya menjalankan kebutuhan hidupnya itu, meski sedikit berlebihan dari manusia lain pada umumnya.
"Ya, saya bener, dong? Kenyataannya gitu, kan?"
"IH!"
Gadis gempal itu menggeratakan giginya, sementara satu tangannya sudah terangkat akan memukul Ardan. Namun, ia tidak kunjung bisa melayangkan satu pukulan di tubuh pria di hadapannya itu. Delia justru menurunkan tangannya sambil menghentakkan kaki dengan kesal. Bahkan, ia tidak bisa marah pada Ardan yang sudah jelas-jelas mengejek dirinya.
Tanpa bicara panjang lebar, Delia menguntai langkah kakinya untuk berbalik arah. Ia memutuskan berjalan pergi, meninggalkan Ardan yang terlihat kebingungan, "Loh, Delia?"
"Mas Ardan lari aja, saya mau cari makan!" pekik Delia, tanpa repot berbalik dan menatap Ardan yang kini menghela napasnya kasar lantas mengalihkan pandangan ke arah lain. Nyatanya, semua perempuan itu memang menyebalkan. Diejek sedikit saja pasti marah-marah.
"Punya istri ngambekan terus."
Ardan pun memilih untuk tidak memikirkan hal itu lebih lanjut. Ia baru akan kembali melanjutkan olahraganya, jika matanya tidak menemukan Delia yang tiba-tiba saja sudah terduduk di tengah jalan sembari meringis kesakitan. Otomatis kaki Ardan melangkah mendekati gadis gempal itu, memperhatikan keadaannya yang tidak bergerak sedikit pun meski banyak orang sudah melihat ke arah dirinya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...