Sepanjang perjalanan menuju kediaman Nenek Karisma, tidak ada yang dilakukan Delia kecuali melamun. Pandangannya menatap jauh ke luar jendela mobil yang tengah membawanya saat ini. Sementara pikirannya terus mengulang kata-kata Bapak yang berhasil menohok hatinya beberapa saat lalu.
"Ikuti kata hati kamu, Delia. Kalau memang itu membuatmu bahagia, maka perjuangkanlah. Bapak cuma mau yang terbaik buat kamu. Bapak gak mau ada yang menyakiti putri kesayangan yang udah Bapak rawat susah payah sampai sekarang ini. Asal kamu bahagia, Bapak bahagia."
Jika ia mengikuti kata hatinya, haruskah ia menerima perjodohan ini? Oh, rasanya kalau bisa sudah sedari kemarin ia langsung menerimanya, bahkan tanpa keraguan. Ya, tentu saja, jika Ardan menerimanya juga, sama seperti apa yang diinginkan Delia. Apabila pria itu tidak menolak, pasti semuanya akan berjalan lancar dan mudah, untuk dirinya. Tanpa membuat Delia harus merasa bingung dan tidak tahu tentang apa yang akan ia lakukan sekarang.
Apakah ia terlalu egois jika ia menginginkan perjodohan ini?
Tidak. Tidak hanya karena tampang atau apa yang pria bernama Ardan itu miliki yang membuat Delia sangat menginginkan perjodohan ini berhasil menuju pernikahan. Delia hanya merasa, Ardan tepat untuk dirinya. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuat Delia ingin sekali melindunginya, semampu yang ia bisa. Membuat Delia begitu menyayanginya, dengan sepenuh hatinya. Ah, jangan lupakan fakta bahwa gadis itu sudah jatuh hati lebih dulu bahkan sebelum bertemu langsung dengan Ardan. Dan perasaan itu masih ada, meski sudah berkali-kali pula Ardan menyakiti hatinya dengan ucapannya yang begitu menyakitkan.
Selain perasannya yang terus tepikirkan oleh Delia, perasaan kedua keluarga juga tentu menjadi bahan pertimbangannya. Tiap kali ia mengingat ekspresi wajah Nenek Karisma yang benar-benar menginginkan perjodohan ini terlaksana, selalu berhasil mencubit hati Delia dan membangunkan rasa iba yang tidak bisa ia pungkiri. Terlebih dengan keinginan kuat sang Ibu yang memaksanya untuk bisa ia wujudukan. Kenapa semuanya jadi terasa sulit seperti ini?
Satu tangan Delia terangkat. Menyentuh dadanya yang langsung terasa sesak tiap kali ia memikirkan pria yang telah mencuri hatinya itu. Ada satu keinginan dalam hatinya yang begitu kuat untuk mendapatkan hati seorang Ardan. Namun, otaknya selalu berkata sebaliknya, mengingatkan Delia pada kenyataan bahwa itu tidak akan mungkin terjadi. Delia hampir mau menyerah jika kata-kata Bapak tidak berhasil menguatkannya.
Ya. Delia sudah berjanji akan membuat Bapak bahagia dan tidak akan melihat dirinya bersedih. Maka dari itu, Delia harus berjuang, untuk perasaan dan kebahagiaan orang-orang yang ini melihat dirinya pun untuk juga bahagia.
"Mbak Delia tidak apa-apa?"
Pria muda di kursi pengemudi itu membuka suara, diiringi tatapan cemas yang berkali-kali melirik ke arah spion. Mencemaskan gadis yang diperintahkan atasannya untuk ia jemput itu, karena tidak bersuara sejak ia menginjak pedal gas dan membawa diri mereka pergi menuju kediaman keluarga Karisma.
Dilihatnya gadis itu agak terkejut dengan pertanyaannya, sebelum akhirnya menjawab, "E-ehm. Saya baik-baik saja, Mas Dodi."
Dodi, atau supir utusan Ardan lantas menganggukan kepala, pertanda mengerti meski dirinya masih sedikit cemas dengan keadaan Delia yang memegang dadanya. Takut gadis itu kenapa-kenapa. Akan tetapi, seulas senyum yang terukir di dua sudut bibir gadis tersebut berhasil menenangkannya sedikit demi sedikit.
"Baiklah kalau begitu. Omong-omong, Mbak Delia ini calon istrinya Pak Ardan, ya?"
Pertanyaan itu sungguh berhasil merenggut kesadaran Delia yang sedari tadi hanya melamun. Kedua matanya nampak sedikit membesar diiringi bibir yang terkatup rapat. Tenggorokannya terasa tercekat, bingung harus menjawab apa di kala Delia sangat tahu kondisi diantara dirinya dan Ardan yang belum ada kejelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...