"Toni?"
Tangan pemuda yang hendak mengambil kertas yang diulurkan oleh Delia pun mengambang begitu saja, ketika kedua matanya menangkap wajah gadis gempal yang tentunya sangat familiar untuknya itu. Ekspresi wajahnya terlihat agak sedikit terkejut, menyadari siapa orang yang baru saja ia tabrak. Sementara Delia justru mengembangkan senyumnya, sedikit tidak menyangka bisa bertemu dengan Toni di sini, “Kamu… ngapain di sini?”
Pertanyaan yang diajukan Delia nyatanya berhasil menyadarkan Toni dari lamunan singkatnya. Pemuda tersebut lantas tertawa renyah, sembari menerima kertas yang diulurkan Delia padanya lalu berdiri. Ia juga tidak ragu memberikan bantuan pada Delia yang masih sibuk membersihkan bagian belakang celananya. Dan gadis gempal itu menerimanya tanpa ragu.
“Saya gak nyangka kita bisa ketemu di sini, Delia,” jawab Toni setelahnya. Lalu, sembari mengangkat berkas-berkas yang ada di gengamannya, ia kembali melanjutkan ucapannya yang terhenti, sekaligus menjawab pertanyaan yang dilontarkan gadis gempal itu beberapa detik yang lalu, "Saya kuliah di sini.”
“Serius?!” pekik Delia tanpa sadar. Mencuri perhatian beberapa mahasiswa lain yang tengah hilir mudik di sekitarnya. Ia pun buru-buru membekap mulutnya sendiri, membuat Toni kembali tertawa meski dengan sangat pelan, “Kenapa? Saya… gak boleh kuliah di sini?”
Mendengar sindiran yang diutarakan Toni membuat Delia spontan melambaikan kedua tangannya, seiring dengan kepalanya yang menggeleng cepat, “E-eh, gak gitu. Cuma… saya belum pernah lihat kamu sebelumnya di sini. Atau mungkin…”
Bahkan, tanpa membiarkan Delia melanjutkan kata-katanya yang menggantung, Toni sudah lebih dulu mengangguk. Seakan mengerti apa yang dimaksud oleh gadis gempal di hadapannya itu. Cukup sukses membuat Delia ikut mengembangkan senyumnya, “Wah, jadi kamu junior saya?”
Delia sudah berpikir bahwa Toni adalah mahasiswa baru, yang berarti pria itu adalah adik tingkatnya. Namun, ia malah dibuat semakin mengernyit saat pemuda tampan yang sudah sangat rapih dengan kemeja hitam dan celana abu-abunya itu justru tertawa, “Apa mahasiswa baru S2 juga termasuk junior kamu?”
“Hah?!”
“Saya melanjutkan kuliah S2 di sini,” jelas Toni, seraya menahan tawanya untuk tidak kembali keluar begitu melihat Delia yang tampak terkejut. Tidak lama, gadis gempal itu mengerjapkan matanya dengan lucu, lantas memasang raut muka penuh ketidak percayaan, “Kamu S2?”
Toni tentu saja mengangguk, mengiyakan pertanyaan Delia yang sedang memastikan apa yang baru saja ia katakan. Dan tentunya apa yang ia lakukan itu membuat Delia semakin tidak bisa berkata-kata. Dengan wajahnya yang tampan dan masih sangat muda itu, sulit bagi Delia mempercayai bahwa Toni sedang melanjutkan studi S2-nya. Awalnya, ia pikir Toni itu satu angkatan dengan dirinya, dengan sekedar menebak dari penampilannya saja. Namun, kenyataan yang ada berhasil menampar Delia keras-keras sekaligus membangkitkan keirian di dalam hatinya.
“Tapi, kamu masih muda banget. Saya kira kamu satu angkatan sama saya.”
“Ya, memang salah saya juga, sih karena ikut akselerasi waktu sekolah dulu. Saya juga sebenarnya masih seumuran kamu, kok,” jawab Toni dengan sangat tenang, tanpa menyadari kalau kenyataan itu lagi-lagi membuat Delia tercengang, “Memangnya kamu tau berapa umur saya?”
Toni meringis pelan, seraya menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal, “Hm… dua puluh dua, maybe? Saya juga dua puluh dua soalnya.”
“Wah…” gumam Delia sedetik setelah Toni berhasil menjawab umurnya dengan sangat akurat. Ia kemudian hanya bisa menepuk lengan Toni, lalu mengangkat dua jempolnya ke arah pemuda itu dengan kekaguman yang terpancar jelas pada sorot matanya, “Kamu hebat banget.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...