"Maaf, Mas. Kita sudah mau tutup. Mas-nya bisa kembali besok lagi."
Kepala Ardan langsung tertoleh. Ia menatap pelayan coffee shop di hadapannya itu dengan agak ragu, seraya menilik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul dua belas malam. Pantas saja di sekitar tempatnya duduk sudah sangat sepi, bahkan hanya tersisa dirinya sendirian di sana.
Awalnya, ia ingin meminta untuk bisa bertahan lebih lama di sana, mengingat David yang beberapa saat lalu meminta untuk bertemu justru tidak kunjung datang. Namun, melihat wajah pelayan coffee shop itu yang nampak kelelahan, membuat Ardan merasa tidak tega dan pada akhirnya tetap mengangguk, untuk mengiyakan permintaan yang diberikan kepadanya. Lantas, pelayan tersebut pun pergi meninggalkan dirinya disertai senyumnya yang menyiratkan kelegaan.
Tubuh Ardan beranjak bangkit. Kedua matanya mengedar sesaat, sebelum akhirnya memutuskan untuk benar-benar keluar dari tempat tersebut. Kesekian kalinya, ia lantas menyalakan ponselnya, berusaha menghubungi David yang sekarang entah berada dimana. Akan tetapi, ponsel pria tersebut sekarang justru tidak aktif, dan berkali-kali jadi sangat sulit untuk dihubungi.
"Ck, kemana dia?" gumam Ardan dengan sebal. Berpikir bahwa ia mulai menyesali keputusannya untuk mengikuti apa yang dipinta pria tersebut, yang tadi dengan secara tiba-tiba saja menelfonnya dan mengatakan bahwa ada hal penting yang harus mereka bicarakan. Jika seperti ini, Ardan malah jadi membuang-buang waktunya, yang seharusnya bisa ia gunakan untuk menjaga dan menemani istrinya di rumah sakit.
Lantas, memilih untuk tidak terlalu memusingkannya, Ardan berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Sedangkan jalan besar di hadapannya itu sudah sangat lengang, dan jarang ada mobil atau kendaraan lain yang masih berlalu lalang. Sambil sesekali memeriksa ponselnya karena ia tengah berhubungan dengan Krisna terkait kasus baru yang harus diselidiki, tangan Ardan yang lain bergerak membuka pintu mobilnya.
Namun, hanya dalam sepersekian detik kemudian, ia merasakan sesuatu keras membentur bagian kepalanya. Berhasil membuat kepalanya terasa sakit bukan main. Ia baru akan berbalik untuk mencari tahu siapa yang sudah melakukan hal tersebut padanya. Tapi, sebuah kain hitam telah lebih dulu menutup mulut serta hidungnya. Hingga tak lama, kesadaran Ardan perlahan tapi pasti menghilang. Sementara di dalam hatinya, ia terus memikirkan Delia, yang pasti sedang sangat membutuhkannya saat ini.
...
Usai memarkirkan mobilnya, kaki-kaki ramping Meira bergerak cepat, berlari di antara lorong rumah sakit untuk segera menemui sang adik. Beberapa saat yang lalu, ia mendapat kabar bahwa David mengalami kecelakaan yang cukup parah. Dan tanpa pikir panjang, ia berusaha secepat yang ia bisa untuk segera menemui adiknya tersebut, memastikan sendiri apakah keadaannya baik-baik saja atau tidak.
Dengan pikirannya yang sudah kacau pun dengan kepanikan yang tidak mampu lagi terbendung, ia membuka satu kamar yang telah diberitahukan oleh petugas administrasi di sana. Namun, pergerakannya kemudian harus terhenti, begitu melihat seorang pria yang terkapar lemah di atas ranjang itu. Memar di sekujur tubuh, cervical collar yang terpasang melingkari lehernya, serta lilitan perban pada kepalanya, membuat Meira menutup mulutnya yang terbuka sebab terkejut bukan main. Dirinya bahkan bisa mendengar bunyi retakan yang berasal dari hatinya. Melihat kondisi tidak berdaya dari adik yang begitu ia sayangi seperti ini sangat sukses menghancurkan hati Meira.
Langkahnya terseok-seok. Wanita cantik itu berusaha untuk tetap tegar, meski rasanya amat sangat sakit ketika tahu David dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Ia lantas berdiri di samping ranjang pria itu, seraya menggenggam erat sisi ranjang untuk menahan tubuhnya yang bisa saja jatuh tiap saat karena sudah sangat lemas.
Tangannya yang bergetar kemudian tergerak, mengusap wajah penuh memar dan luka gores milik David. Ia mengusapnya secara perlahan, dan penuh kelembutan. Takut-takut jika yang ia lakukan justru membuat pria itu semakin kesakitan. Seiringan dengan air matanya yang jatuh dari sudut matanya, ia mampu melihat pergerakan kelopak mata David, yang mulai terbuka secara perlahan. Menatapnya dengan sendu seraya menahan kesakitannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Подростковая литератураKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...