Alarm ponsel yang berbunyi, bersamaan dengan merdunya suara adzan yang berkumandang dari masjid di belakang komplek, membuat Delia berusaha menghilangkan rasa kantuknya dan mulai membuka mata. Sesaat, pandangannya tampak buram. Namun, setelah beberapa kali mengerjapkan matanya, ia berhasil menemukan figur wajah tampan dari pria yang tertidur di sampingnya. Kedua mata itu masih terpejam, pun napasnya yang begitu teratur dan tenang. Berhasil menciptakan seulas senyum penuh arti yang menghiasi wajah Delia.
Gadis itu menelaah wajah Ardan, memandangnya dengan penuh kekaguman. Delia tahu, ia adalah salah satu gadis paling beruntung yang pernah ada di dunia ini. Bagaimana tidak? Dinikahi pria sesempurna Ardan tentu adalah hal yang patut ia syukuri. Dan bahkan, kini ia berhasil meluluhkan hati pria itu, hati dingin yang tak pernah terbayangkan olehnya bisa mencair begitu saja. Ia pun masih tidak bisa menyangka dan tidak mudah baginya untuk mempercayai semuanya. Namun, mengingat ketulusan yang terpancar dari sorot mata Ardan dan keseriusan dalam ucapannya semalam, sukses menghangatkan hati Delia. Membuatnya yakin, kalau ini memang sudah menjadi salah satu bagian dari jalan takdirnya.
"Delia, dengar saya. Sekarang, kita tidak usah pikirkan itu, ya? Cukup anggap apa yang kamu ketahui itu sebagai angin lalu. Baik Ardelia, David dan segala kenangannya hanyalah masa lalu saya. Itu semua sudah berlalu, sekarang kita harus bisa memulai hidup yang baru bersama-sama. Oke? Saya gak marah, saya percaya sama kamu. Begitu pula kamu, yang juga harus percaya sama saya. Mulai saat ini, kita bangun kembali hubungan ini dari awal lagi, kita perbaiki semuanya. Jangan biarkan siapapun mengganggu hubungan ini. Kamu mengerti, kan?"
Ya, mulai saat ini, Delia akan membantu Ardan memperbaiki hubungan ini dengan sepenuh hatinya, yang masih dan akan selamanya mencintai pria itu. Ia akan membahagiakan Ardan, seperti pesan terakhir Nenek Karisma padanya. Dirinya berjanji kalau ia tidak akan mengecewakan Ardan atau menyakitinya. Ardan harus bahagia bersamanya. Cukup di masa lalu Ardan terus menerus tersakiti. Sekarang, yang perlu mereka lakukan adalah membuka lembaran yang baru demi kebaikan hubungan mereka berdua.
Delia lantas menggerakan tubuhnya, hendak bangun dari posisi berbaringnya saat ini. Namun, tangan Ardan yang memeluk pinggangnya dengan begitu erat menghalanginya. Hingga ia harus memindahkan tangan pria itu sesegera mungkin.
Dengan gerakan perlahan, Delia mencoba mengangkat tangan Ardan. Akan tetapi, ketika ia hampir berhasil melepaskan diri dari pelukan suamimya tersebut, tiba-tiba saja Ardan mengelak. Ia justru kembali memeluk pinggang Delia, dan menarik tubuh gadis itu sampai jarak di antara mereka jadi semakin terkikis. Dengan dagunya yang ia letakkan di atas kepala Delia, Ardan membiarkan istrinya untuk membenamkan wajah di dadanya yang bidang. Sementara matanya masih saja terpejam.
Sulit bagi Delia, walau hanya sekedar menelan salivanya sendiri. Jujur, ia masih belum terbiasa dengan posisi-posisi yang terlalu berdekatan seperti ini. Tapi, berapa kali pun ia mencoba melepaskan diri dari kurungan tubuh Ardan, ia tidak kunjung berhasil. Ardan seakan tidak mau melepasnya dengan semudah itu.
"Mas Ardan?"
"Hm?"
"Lepasin."
"Gak mau."
"Ih, waktunya shalat."
"Sebentar lagi."
"Mas, nanti keburu habis waktu shalatnya."
"Hm."
"Mas Ardan?"
"Hm?"
"Lepasin ini. Delia mau ambil wudhu."
"Passwordnya apa?"
"Hah? Mas Ardan, apa, sih? Lepasin."
"Passwordnya dulu."
![](https://img.wattpad.com/cover/160038201-288-k686670.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...