Dentingan antara alat makan yang saling beradu satu sama lain menjadi pemecah keheningan di ruang makan sederhana itu. Ke-empat orang anggota keluarga tersebut menghabiskan sarapan di piring masing-masing dalam diam, membiarkan isi kepalanya berkecamuk memikirkan begitu banyak hal. Hingga tidak lama kemudian, salah satu dari mereka beranjak dari kursi yang diduduki, begitu selesai menghabiskan makanan di dalam piringnya, semampu dirinya saat ini. Padahal, masih tersisa banyak nasi serta lauk pauk yang tidak termakan olehnya.
"Bu, Pak, Delia duluan, ya. Mau istirahat," gumam Delia dengan lemas, berusaha menahan rasa nyeri pada kepalanya yang kembali datang. Setelah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya yang masih sibuk menghabiskan sarapan mereka sendiri, Delia bergegas menuju kamarnya. Ia bahkan tidak menghiraukan sang suami, yang menatapnya dengan bingung akan sikapnya itu. Karena menurutnya, tidak biasanya Delia menyisakan makanan seperti ini. Membuatnya memberi isyarat kepada kedua mertuanya tersebut untuk menghampiri Delia terlebih dahulu.
Namun, pergerakannya terhenti saat Delia tiba-tiba saja berbalik arah seraya menutupi mulutnya. Gadis gempal itu nampak tergesa-gesa menuju kamar mandi, dan membanting pintunya dengan kasar sehingga terdengar debuman yang cukup kencang. Sukses menarik perhatiannya untuk segera menghampiri sang istri di sana, "Del?! Kamu kenapa?!"
Lagi dan lagi. Delia menumpahkan seluruh isi perutnya yang baru saja masuk begitu saja. Dorongannya pun begitu kuat, sehingga tubuhnya menjadi sangat lemas disertai tenggorokannya yang sakit dan membuatnya terus terbatuk-batuk. Berkali-kali ia menumpahkan isi perutnya hingga tidak tersisa sedikit pun, lalu membasuh mulutnya setelah menyiram muntahannya tersebut. Padahal, ia sudah meminum obatnya dengan teratur sejak kemarin. Namun, nampaknya obat itu tidak cukup ampuh untuk mengobati mual-mual serta pusingnya itu.
"Del?! Delia! Jawab saya! Kamu kenapa?! Buka pintunya!"
Mendengar gedoran dan teriakan yang sepertinya tidak akan berhenti, Delia pun memutuskan untuk segera keluar. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia membuka pintu tersebut, yang lantas menampilkan Ardan telah berdiri di hadapannya disertai mimik muka penuh kecemasan. Pria tampan itu langsung menilik wajahnya yang sudah pucat pasi, memperhatikannya dengan seksama, "Kamu kenapa? Muntah lagi? Kata Ibu kamu muntah-muntah terus dari kemarin."
Delia hanya bisa mengangguk pelan, sejurus kemudian berjalan melewati Ardan menuju kamarnya. Ia butuh merebahkan tubuhnya sesaat, paling tidak sampai rasa sakit yang berdenyut di kepalanya bisa hilang walau sedikit. Namun, Ardan yang berada di belakangnya, dengan cepat menahan tangannya, sampai tubuhnya yang sudah terasa sangat lemas kembali berputar dan mereka berdiri berhadapan saat ini. Meski pandangannya nampak buram, Delia mampu melihat wajah Ardan yang diliputi kecemasan.
"Kita ke rumah sakit, ya?"
"Enggak mau..."
"Tapi, Delia, paling gak kamu harus diperiksa dokter dulu supaya tau kamu sakit apa sebenarnya."
"Delia gak mau..."
"Saya yang antar, oke?"
"Gak mau... Maunya di rumah aja..."
"Delia, please. Kita ke rumah sakit, ya?"
"Mau sama Mas Ardan aja..."
Usai berucap dengan suaranya yang parau, Delia langsung menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Ardan. Ia menyandarkan kepalanya di atas dada bidang pria itu, lantas dengan cepat merasa nyaman dan enggan bergerak sedikit pun. Sementara itu, Ardan menghela napasnya pelan, disertai tangannya yang membalas pelukan sang istri. Ia mengusap kepala belakang gadis gempal itu dengan lembut, seraya sesekali mendaratkan kecupan hangat di pucuk kepalanya. Dirinya benar-benar merasa cemas dan khawatir akan kondisi kesehatan Delia. Namun, jika sudah begini pun ia tidak bisa berbuat apa-apa, sampai Delia sendiri yang mau menyetujui tawarannya untuk datang ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Подростковая литератураKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...