:: Bab XLV ::

1.3K 92 1
                                    

Ardan menyesap kopinya dengan cepat. Sesekali melirik Krisna yang kini duduk di hadapannya dengan sorot mata yang tajam. Berhasil membuatnya merasa tidak nyaman dan juga gelisah. Sudah dua puluh lima menit berlalu, sementara Krisna masih tetap dalam posisi yang sama. Terduduk tegap, menyilangkan kedua tangan di depan dada, diiringi dengan tatapannya yang menuntut penjelasan.

"S-saya..."

"Pak, saya pikir Bapak perlu mengganti Zelia dengan orang lain," gumam Krisna dengan suaranya yang terdengar tegas, menyela kalimat Ardan yang penuh keraguan serta bingung. Helaan napasnya pun menguap berat, sejurus dengan dirinya yang mengatupkan kedua tangan.

Perasaannya tidak enak, mengenai sekretaris baru Ardan, yaitu Zelia. Ia hanya merasa, hadirnya wanita itu di hidup Ardan saat ini bisa membawa hal buruk di masa yang akan datang. Itu semua bahkan sudah terlihat jelas dengan dirinya yang tadi melihat Ardan memeluk Zelia di dalam lift, berduaan saja. Meski katanya hal itu adalah ketidak sengajaan, tapi, tidak ada yang tahu bagaimana hati seseorang, kan?

"Kris—"

"Pak, pikirkan perasaan Delia."

Ardan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tatapannya yang tadi mengarah ke Krisna, kini teralih ke arah lain. Sementara hatinya semakin dilanda kebingungan, yang ia pun tidak mengerti mengapa ia bisa menjadi bingung seperti ini. Apa yang terjadi di lift tadi bukanlah kesengajaan. Dirinya hanya reflek memeluk Zelia yang ketakutan. Dan ia pikir, ia tidak salah karena memang tujuannya sekedar membantu Zelia, tidak ada yang lain.

"Untung bukan Delia yang melihat, Pak. Apa dia gak akan mikir yang macam-macam kalau lihat Pak Ardan seperti itu? Bagaimana pun, Bapak sudah menikah, sudah memiliki istri. Tidak seharusnya Pak Ardan menyentuh wanita lain sembarangan."

"Saya hanya mau menenangkan Zelia, Kris. Dia ketakutan karena lift yang tiba-tiba mati. Tidak ada yang terjadi di antara kami selain itu."

"Lalu, bagaimana dengan perasaan Bapak?"

Pertanyaan yang dilontarkan Krisna tanpa disadari berhasil membuat Ardan menahan napasnya. Kedua matanya mengerjap cepat, saat jantungnya tiba-tiba saja berdebar kencang, "A-apa maksud kamu, Kris?"

Bukannya menjawab pertanyaan yang dikembalikan oleh Ardan, Krisna justru menghela napas untuk yang kesekian kali. Ia mengambil kopi susu yang ada di cup kertasnya, lantas berdiri dari tempat yang ia duduki. Kedua matanya menatap Ardan dengan penuh pengharapan serta setitik kegelisahan di dalamnya.

"Pak Ardan tentu lebih tau mana yang baik dan mana yang buruk untuk Bapak. Tapi, saya ingatkan Pak Ardan untuk tetap menjaga perasaan Pak Ardan terhadap sekretaris itu. Selalu ingat Delia, Pak. Tolong, jangan lakukan hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah seperti ini lagi. Ini peringatan pertama dari saya dan saya harap Bapak tidak akan melupakannya, dari pada semuanya justru menjadi kacau ke depannya. Kalau begitu, saya permisi."

Begitu menyelesaikan ucapannya, Krisna melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan Ardan yang masih terpaku pada posisinya, sedangkan wajahnya tampak mengeras. Kata-kata Krisna yang merasuki kepalanya membuatnya kalut. Dirinya pun tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan sekarang. Semuanya terasa campur aduk dan membingungkan dirinya sendiri.

Ardan mendongakan wajahnya, memandangi langit-langit cafe tempat ia bernaung saat ini. Ia tahu, sangat tahu bahwa ia harus menjaga perasaannya hanya untuk Delia. Namun, di lain sisi, entah bagaimana ia tidak bisa semudah itu mengenyahkan Zelia dari dalam kepalanya. Semenjak pertemuan pertama mereka kemarin, mustahil bagi Ardan untuk tidak terus mengingatnya walau ia juga sebenarnya sangat tidak ingin.

"Ardan... ini aku. Aku Ardelia. Aku nyata, Ardan. Aku di sini."

"Aku, Ardelia. Aku masih hidup."

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang