:: Bab XXXII ::

1.8K 144 13
                                    

Delia mengerjapkan matanya ketika alarm di ponselnya itu berbunyi. Sudah waktunya shalat Subuh, sehingga mau tidak mau ia harus menyadarkan dirinya sendiri yang masih mengantuk.

Setelah mendudukan dirinya dan menyandarkan punggungnya ke sofa, Delia mengedarkan pandangannya. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ardan sudah pulang. Sementara itu, tangannya langsung meraih ponselnya dan melihat kolom chat dari Ardan. Namun, tetap tidak ada balasan apapun. Bahkan pesannya juga tidak dibaca sama sekali. Yang ada hanyalah pesan dari grup panitia yang mengingatkan bahwa hari ini mereka akan mengadakan rapat untuk acara pensi yang tersisa empat hari lagi. Membuat Delia lantas hanya bisa menghela napasnya dengan berat.

"Emang kamu sibuk banget, ya, Mas?"

Delia menggumam sedih. Khawatir, cemas, dan rindu bercampur aduk di dalam hatinya. Ia memeluk bantal yang tergeletak di sampingnya. Itu adalah bantal yang biasa Ardan gunakan untuk tidur. Aroma pria itu bahkan masih tersisa di sana dan justru memperkuat perasaan campur aduk di dalam hati Delia hingga ia menenggelamkan wajahnya di bantal tersebut dalam-dalam. Ia benci perasaan ini.

Walau Ardan terus menerus mengabaikannya, paling tidak ia ingin Ardan ada di sini. Karena hanya saat pria itu tidurlah, Delia bisa puas memperhatikannya dalam diam. Delia pun tidak mengerti, dengan semua sikap Ardan yang seharusnya membuatnya menyerah, namun ia justru tetap bertahan. Lebih tepatnya, berusaha akan tetap bertahan di samping Ardan. Bagaimanapun, ia sudah menjadi istri sah dari pria itu. Dan Delia juga tidak ingin menghancurkan keinginan orang-orang yang memang mengharapkan dirinya bersama Ardan. Ia tidak akan pernah melakukannya.

...

Setelah mandi dan menunaikan shalat Subuh, Delia turun ke bawah dan menemukan mama mertuanya sudah sibuk berkutat dengan kompor di dapur. Ia mengulas senyumnya saat Mama Ardan menoleh ke arahnya, "Eh, Delia."

"Selamat pagi, Mah," sapa Delia sembari menghampiri Mama Ardan. Kedua matanya bisa menangkap beberapa masakan yang sedang dibuat oleh wanita setengah baya itu. Hingga satu ide tiba-tiba saja muncul di dalam kepalanya.

"Mah, nanti Delia mau gantian pinjam kompornya, ya?"

Kening Mama Ardan mengkerut dalam. Sementara kedua matanya menilik Delia dengan sedikit bingung, "Loh, kan, Mama lagi masak ini buat sarapan? Memangnya kamu mau masak apa lagi?"

Delia mengulas cengiran andalannya, "Hm, Delia mau masak buat Mas Ardan. Nanti biar Delia yang anterin ke kantornya."

Mendengar jawaban itu, ekspresi wajah Mama Delia berubah cepat. Ia menghilangkan kebingungan itu dari wajah cantiknya lantas tertawa pelan, sebelum akhirnya menyahut, "Oalah. Ya sudah, gak apa-apa, kok. Bentar lagi Mama juga selesai."

"Terima kasih, ya, Mah."

"Iya, sama-sama, sayang. Pasti kangen, ya, sama Ardan?"

Delia tidak bisa memungkiri kalau ia memang merindukan pria itu. Sangat merindukannya, malah. Padahal dulu, sebelum mereka menikah, ia tidak pernah merasa seperti ini. Ia tidak pernah merindukan Ardan sebanyak ini, tidak pernah merasa gelisah dan cemas separah ini, sehingga ia pun juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi padanya.

"Wajar kalau kamu kangen sama Ardan. Apalagi kalian sudah menikah. Mama aja yang setiap hari sering ditinggal Ardan atau Papa kamu itu, masih ngerasa kangen. Rumah jadi sepi, gak ada yang bisa di ajak ngobrol selain Nenek, belum lagi kita gak menyewa satpam atau pembantu jadinya benar-benar kerasa kosong. Mungkin, kamu hanya belum terbiasa dengan keadaan dan resiko dari pekerjaan Ardan. Lama kelamaan pasti Delia bisa beradaptasi, kok. Intinya banyak-banyak sabar."

Penjelasan panjang kali lebar dari Mama Ardan itu berhasil mencerahkan Delia. Benar yang dikatakan wanita di sampingnya itu. Mungkin, memang dirinya saja yang belum terbiasa ditinggal Ardan. Sehingga, ketika tidak ada Ardan di sekitarnya ia jadi begitu gelisah dan juga rindu di saat yang bersamaan.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang