:: Bab II ::

3.5K 231 6
                                    

Sepatu pantofel mengkilat itu menciptakan suara khas yang menggema karena ketukannya dengan lantai marmer di dalam ruangan. Ardan langsung menduduki kursi kerjanya setelah beberapa kali hanya mondar-mandir membaca berkas yang ada pada genggamannya saat ini. Pria itu menarik kedua tangannya ke belakang, mencoba merileks-kan kembali otot-otot punggungnya yang terasa kaku. Helaan nafas pun menyelinap lewat bibir kemerahan pria tersebut.

Ardan berusaha untuk kembali fokus pada kasus baru yang sedang ia tangani saat ini. Beberapa komplotan begal begitu meresahkan masyarakat setelah setahun belakangan sudah tidak ada lagi begla yang berani beraksi karena Ardan berhasil menangkap orang yang mengepalai aksi pembegalan tersebut. Akan tetapi, entah siapa yang memulainya, aksi pembegalan kembali terjadi. Dan target incarannya tidak hanya warga sipil biasa, bahkan hingga ke jajaran menteri dan orang-orang penting di negeri ini.

Puncaknya adalah ketika komplotan begal tersebut dengan beraninya menyerang salah satu menteri ketika sedang berekreasi bersama keluarga hingga akhirnya tewas dengan sepuluh bekas tusukan benda tajam pada tubuhnya. Dan, kini, Ardan harus bekerja keras untuk mengusut tuntas kasus ini sebagai tanggung jawab yang sudah diberikan oleh Presiden secara langsung kepadanya beberapa hari yang lalu.

Ditengah pikirannya yang sedikit kacau, satu pesan masuk ke dalam notifikasi ponsel canggih Ardan. Ia langsung membukanya dan mendapati kontak sang Papa sebagai pengirim pesan tersebut.

'Assalamualaikum, Ardan. Kamu sudah mengosongkan jadwal kamu sekarang? Jangan lupa, oke? Ingat. Jam tujuh malam di Hotel Green Lake. Gak ada kata terlambat. Kita ketemuan disana.'

Ardan mendengus tanpa sadar. Sungguh, bisakah ia tenang sekali saja? Hanya dengan kasus yang harus ia tangani sekarang saja, kepala Ardan rasanya sudah mau pecah. Belum lagi ditambah acara yang diwajibkan oleh sang Papa untuk ia datangi. Apalagi kalau bukan acara pernikahan? Katanya, biar Ardan jadi punya motivasi untuk segera menikah.

Tiga puluh satu tahun adalah usia yang masih pantas untuk tetap menjadi seorang single sekaligus waktu yang pas untuk tetap mempertahankan karir. Itu pemikiran Ardan. Lagipula, dari awal ia masuk akademi kepolisian hingga kini akhirnya ia bisa mendapatkan jabatannya sebagi Komisaris Jendral termuda dalam sejarah di Bareskrim, Ardan sudah berkomitmen untuk tidak menjalin hubungan dengan siapapun, apalagi menikah. Karena, bagi seorang Ardan Putra Karisma, menjalin hubungan dan menikah hanya akan membatasi karirnya yang sedang berada di puncak. Dan Ardan tidak mau hal tersebut terjadi dan membuat semua perjuangannya menjadi sia-sia.

Keluarganya sudah seringkali memilihkan calon dari kalangan kolega mereka untuk dijodohkan dengan Ardan. Namun, Ardan tetaplah Ardan yang akan berpegang teguh pada komitmen yang sudah dibuatnya. Mau secantik Song Hye-kyo atau merupakan lulusan Oxford University sekali pun, Ardan akan menolaknya dengan tegas, bahkan di pertemuan pertama.

Pekerjaannya sebagai seorang anggota kepolisian juga terkadang membuatnya takut untuk membina sebuah hubungan. Ia tidak mau jika nantinya ketika ia sudah mencintai seseorang dengan begitu dalam, akan ada orang jahat yang membalaskan dendam karena apa yang Ardan lakukan dan mencelakai orang yang ia cintai tersebut. Ia benar-benar takut jika itu terjadi dalam hidupnya. Karena ia tau bagaimana rasa sakit itu dan ia tidak mau merasakannya, lagi. Mungkin, Ardan adalah orang yang terlihat kuat di luar, tapi ia hanya manusia biasa yang pastinya punya kelemahan lain pada dirinya.

...

"Terus nanti yang dandanin gue siapa, Lun? Gue juga kan gak bisa pake hijab organza gitu. Masa lu yang mau pakein?" tanya Delia sambil menyendok es krim green tea favoritnya ke dalam mulut. Ia dan Luna baru saja selesai mencari kebaya pesta lengkap dengan hijab yang mempercantik penampilan Delia sebagai pendamping Luna nanti malam.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang