:: Bab XL ::

2.4K 122 32
                                    

Langit yang terlihat sangat biru membuat hari Minggu ini lebih spesial dari hari Minggu biasanya. Gumpalan kapas putih yang bergerak perlahan ke satu arah yang sama menjadi pemandangan indah bagi siapapun yang melihatnya. Angin segar yang berhembus pun terasa begitu menenangkan bagi siapa pun yang merasakannya.

Sementara itu, sebuah Range Rover hitam membelah jalanan ibu kota yang tampak lengang, tidak sepadat hari kerja biasanya. Ardan sibuk mengemudikan mobil tersebut, sambil sesekali bersenandung mengikuti alunan musik yang diputar radio. Begitu pula dengan Delia, yang asik memotret langit biru yang nampak cantik dari posisinya duduk.

Selang beberapa menit kemudian, lagu yang terputar pun berganti. Kini, lagu dari Stephanie Poetri berjudul I Love You 3000 memenuhi mobil tersebut, dan membuat Delia lantas ikut bernyanyi. Itu adalah salah satu lagu favoritnya. Senyum lebarnya bahkan sudah merekah cantik, selagi ia menggumamkan lirik-lirik romantis dari lagu tersebut.

"Baby, take my hand. I want you to be my husband. Cause you're my ironman, and i love you three thousand."

"Kan, udah jadi husband sekarang," sambar Ardan, seraya menolehkan kepalanya ke arah Delia. Pria itu lantas mengadahkan satu tangannya, sedangkan satu lagi memegang setir mobil. Menunggu gadis gempal di sampingnya itu untuk menyambut tangannya.

Delia terdiam sesaat. Kedua matanya memperhatikan telapak tangan yang terbuka ke arahnya. Selang beberapa detik kemudian, ia menggapai tangan tersebut. Menyelipkan jari-jari gendutnya di antara jari-jari Ardan yang panjang dan kurus. Bersamaan dengan itu, senyumnya pun masih setia bertengger di atas bibirnya. Yang ternyata menular pada Ardan.

Lampu lalu lintas menyala merah. Ardan dengan sigap menginjak pedal rem, membuat mobilnya berhenti tepat di belakang garis putih yang terlukis di atas aspal. Dirinya pun menatap genggaman tangan Delia di atas tangannya, merasakan kehangatan yang menjalar melalui telapak tangannya itu. Ia tidak mengerti, mengapa genggaman gadis gempal di sampingnya tersebut bisa terasa nyaman dan menenangkan. Yang jelas, genggaman tangan Delia kini telah menjadi salah satu hal favoritnya.

"Tangan kamu hangat. Saya suka," gumamnya kemudian, tanpa menyadari bahwa kata-katanya itu berhasil mempercepat degup jantung Delia. Ia bahkan tidak repot melirik respon gadis itu, justru kembali menginjak pedal gas mobilnya begitu warna lampu lalu lintas berganti hijau. Sedangkan satu tangannya masih tidak mau melepaskan diri dari genggaman hangat istrinya.

Delia tidak mampu menahan sudut bibirnya yang sudah bergetar untuk tidak tertarik ke atas. Ia tersenyum malu, sambil sesekali memperhatikan tangannya yang digenggam Ardan. Rona merah pun sudah menghiasi keseluruhan wajahnya dengan sempurna. Sementara debaran jantungnya yang cepat memberikan sensasi menggelitik di dalam rongga dadanya.

...

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Tanpa pikir panjang, Delia langsung menyerbu Bapaknya yang sedang duduk di ruang tamu. Ia mendekap tubuh pria yang usianya hampir memasuki kepala enam dengan erat, menyalurkan kerinduannya yang teramat sangat setelah hampir lebih dari sebulan ini tidak pernah bertemu.

"Bapak! Delia kangen!" gumam Delia lirih, menyandarkan kepalanya di atas dada sang bapak.

Sebagai anak bontot, ia cenderung lebih dekat dengan Bapak. Selama dua puluh satu tahun hidupnya, Bapak yang selalu mau mendengarkan segala keluh kesahnya dalam berbagai hal, memberikan nasihat-nasihat yang begitu membantu, dan tidak pernah berhenti men-support segala sesuatu yang ia lakukan. Dikala Ibu-nya sering kali menuntutnya untuk bisa melakukan banyak hal, membandingkannya dengan anak yang lain, ataupun memaksakan kehendaknya pada Delia, Bapak justru berbeda.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang