:: Bab XX ::

2.1K 171 0
                                    

Sambil membawa totebag yang menjadi lebih ringan pada tangannya, Delia menyusuri trotoar di depan kantor Ardan dengan langkah yang begitu pelan. Sementara itu, tatapan kosong terlihat dari kedua matanya yang menatap pergerakan kedua kakinya sendiri. Bersamaan dengan otaknya yang terus menerus memikirkan apa yang terjadi pada Ardan beberapa saat lalu.

“Saya harus apa?”

Tatapan pilu itu, suara yang bergetar itu, wajah nelangsa itu, serta tangan gemetar itu terus terbayang-bayang di dalam kepala Delia. Mengingatkannya akan rasa perih tersayat di dalam hatinya yang ia rasakan begitu melihat Ardan yang tiba-tiba saja bersikap demikian. Bahkan hingga saat ini ia tidak berhasil menemukan apa yang membuat Ardan tidak terlihat seperti Ardan yang ia kenal.

Tidak ada Ardan yang kaku dan menyebalkan. Yang ada hanyalah Ardan yang tampak lemah dan terlarut dalam kesedihan berkepanjangan. Membuat Delia lantas menghela napasnya sendiri setelah tidak kunjung mengerti penyebab pria itu begitu berubah tadi.

Paling tidak, setelah tangis Ardan mereda begitu Delia memberi pria itu kekuatan kecil, Ardan mau memakan makanan yang ia bawa hingga habis dan bersih. Tidak sampai tiga puluh menit, pria tersebut juga sudah kembali ke sifatnya yang semula dan tampak kesal karena Delia yang sudah melihat wajah menangis Ardan yang katanya sangat memalukan dan tidak seharusnya ada yang melihat itu. Akan tetapi, entah kenapa Delia merasa senang. Karena ia bisa melihat sisi lemah seorang Ardan yang tidak banyak orang tahu, meski ia sendiri pun tidak mengerti apa penyebabnya.

Ya, memang lebih baik untuk sekarang ini ia tidak perlu mengetahui itu, atau nantinya ia yang justru akan sakit hati berkepanjangan.

“Oh, iya, iya. Ini gue on the way ke aula, kok. Sebentar, ya.”

Delia memutus sambungan telpon di ponselnya dengan kedua kakinya yang bergerak cepat. Sementara tangannya tampak bergerak lincah di atas keypad ponselnya, sebelum akhirnya ia mengirim pesan ke salah seorang teman untuk mengabarkan dirinya yang sedang dalam perjalanan.

Sekarang sudah jam tiga sore, dan ia ada jadwal rapat organisasi untuk membahas acara pensi dan penggalangan amal yang akan diselenggarakan beberapa minggu lagi. Akan tetapi, mata kuliah yang baru saja ia ikuti selesai lebih lambat dari biasanya, sehingga ia mau tidak mau harus berlari menuju aula sebab panitia yang lain sudah berkumpul di sana.

Namun, pergerakan kakinya yang terlalu cepat dibarengi dengan kedua matanya yang tidak fokus menatap ke depan membuatnya tanpa sengaja menabrak seseorang yang tengah berjalan dari arah yang berlawanan.

Delia lantas bergegas membantu mengumpulkan buku-buku berceceran milik orang yang di tabraknya itu setelah memungut ponselnya yang terjatuh dan menyimpannya di saku celananya. Ketika ia hendak memberikan buku-buku yang sudah ia kumpulkan ke orang yang berdiri di hadapannya, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak terkejut begitu mengetahui siapa yang sudah ia tabrak.

“E-ehm, Mr. David, m-maaf saya tidak sengaja,” cicit Delia kemudian, seraya membungkukkan tubuhnya yang berusaha menutupi rasa malu yang menyerang dirinya. Tangannya lantas menyodorkan buku-buku David yang tadi berserakan kepada pria itu. Dan pergerakannya terhenti begitu saja tatkala kedua matanya justru menangkap ada yang aneh pada wajah tampan David.

“Mr. David, is everything alright?” tanyanya pelan, seraya memperhatikan banyak memar yang terlukis di wajah David dengan ngeri. Apalagi dengan sudut bibir pria itu yang sedikit robek dan terlihat seperti luka baru yang tentunya sangat perih. Pasti sangat menyakitkan, pikir Delia.

David memaksakan senyum tipis pada bibirnya, setelah hanya terdiam begitu menyadari bahwa Delia tengah memperhatikan luka-luka yang ada pada dirinya. Gerakan kepalanya membentuk gelengan pelan, sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan yang diberikan oleh gadis gempal itu untuknya, “Ya, everything’s going alright. I’m fine.”

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang