:: Bab XXVIII ::

1.7K 136 9
                                    

Hari itu tidak seperti hari biasanya. Langit yang biasanya cerah, kini terlihat sangat mendung dengan awan gelap yang mengitarinya. Anginnya bahkan berhembus dengan sangat kencang. Meski begitu, tetap tidak berhasil membuat Ardan mau beranjak dari posisinya, sedikit pun.

Ia berjongkok di tanah, tepat di samping makam Nenek Karisma yang masih sangat baru dengan taburan bunga mawar segar. Satu tangannya terus memegangi nisan yang menuliskan nama neneknya di sana. Sementara itu, kedua matanya yang tertutup kaca mata hitam itu memaku pandang pada gundukan tanah di hadapannya. Dalam hati berharap ini semua hanyalah bunga tidurnya belaka.

Papa Ardan yang juga masih di sana lantas bangkit setelah menyelesaikan doanya. Tubuhnya sudah sangat kelelahan karena belum makan apapun dan istirahat barang sedikitpun sejak kemarin. Di sampingnya, sang istri yang matanya sembab turut membantunya untuk berdiri. Takut-takut jika pria setengah baya itu ambruk begitu saja.

"Ardan, ayo, kita pulang. Kita harus mempersiapkan untuk pengajian malam nanti," ucap Papa Ardan yang menguntai langkahnya beranjak dari sana. Namun, ketika ia menyadari putra tunggalnya itu tidak bergerak sedikit pun, membuatnya lantas berbalik dan kembali memanggil namanya.

"Ardan."

Ardan tetap tidak menjawab. Ia hanya terus mengelus nisan Nenek Karisma. Hatinya yang sakit karena kepergian sang nenek tepat setelah ia melakukan akad, menyebabkan ia tidak bisa berpikir jernih. Kepergian wanita yang ia sayangi itu mengingatkannya pada Ardelia. Perasaaan yang ditimbulkan sangat sama dan sungguh Ardan membenci perasaan kehilangan seperti itu. Karena dirinya tidak suka ditinggalkan begitu saja.

Tanpa ada yang tahu, kaca mata hitam yang ia gunakan sebenarnya hanya untuk menutupi tatapan mata kosongnya yang sudah berkaca-kaca. Ia sekuat tenaga menahan dirinya agar tidak menangis. Sehingga ia lebih memilih diam. Lagipula, ia ingin sedikit saja lebih lama bersama neneknya.

Dulu mereka tidak memiliki banyak waktu bersama. Ardan beserta orang tuanya baru kembali dari Amsterdam setelah ia remaja. Belum lagi semenjak kepergian Ardelia yang membuat Ardan terasa jauh dari keluarganya, menyebabkan hubungan antara dirinya dan sang nenek justru kembali merenggang.

Sekarang Ardan sadar, mengapa dulu Nenek Karisma selalu bersikap manja kepadanya, selalu over-protective kepadanya, selalu mementingkan dirinya dibanding siapapun. Nenek Karisma sangat menyayangi dirinya. Pasti berat untuk neneknya itu ketika Ardan jauh darinya. Dan perlu Ardan akui bahwa ia menyesal karena tidak sering meluangkan waktunya untuk sang Nenek. Ardan kini sadar bahwa dirinya egois. Ia hanya mementingkan perasaan dan dirinya sendiri. Ia tidak pernah mementingkan keluarganya yang menginginkan ia bahagia. Ia bukanlah cucu yang baik.

"Biar Delia aja, Om."

Delia yang terus setia menemani Ardan meski masih dengan balutan kebaya putih sederhananya itu, lantas membuka suara. Ia menghampiri Papa Ardan dan tersenyum tipis. Paling tidak untuk menghiasi wajahnya yang sudah sangat muram ditambah matanya yang sembab.

"Delia akan jagain Mas Ardan di sini. Om sama Tante bisa pulang duluan."

Mama Ardan mengelus lengan Delia dengan lembut. Seulas senyum muncul di atas bibirnya meski wajahnya terlihat khawatir saat ini, "Nanti kamu kecapekan, sayang."

Mendengar itu, Delia menggeleng pelan, berusaha meyakinkan Mama Ardan bahwa dirinya tidak apa-apa.

"Gak, Tante. Pasti berat untuk Mas Ardan. Jadi, Delia akan temani Mas Ardan dulu di sini. Kalau sudah, Delia akan membujuk Mas Ardan untuk pulang."

Tiba-tiba saja, Papa Ardan mengangkat satu tangannya dan meletakannya di atas kepala Delia yang tertutup hijab. Satu senyum kecil muncul tatkala ia sedang mati-matian menahan diri untuk tidak lagi mengucurkan air matanya. Papa Ardan menatap Delia dengan penuh pengharapan.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang