:: Bab XLIII ::

1.7K 105 1
                                    

Mentari pagi mulai meninggi tatkala jam menunjukkan ke angka delapan. Gedung Mabes Bareskrim tetap beroperasi seperti biasanya dan para pekerja di sana tetap bekerja sesuai jadwal mereka masing-masing. Meski pemimpin mereka tengah mengambil cuti saat ini, hal tersebut nyatanya tidak mengganggu pekerjaan mereka sama sekali. Begitu pula untuk Krisna, yang pagi-pagi pun sudah disuguhi beberapa berkas laporan terkait perkembangan kasus yang sedang ia usut sekarang ini.

Kaki jenjangnya berjalan cepat menuju lift, sementara tangannya membawa beberapa lembar berkas laporan. Ia butuh pertimbangan Ardan untuk hal ini, namun karena atasannya itu sedang tidak ada di tempat, ia hanya akan menitipkannya pada Anna yang selalu setia stand-by di depan ruang kerja Ardan. Paling tidak, ia harus mengantrikan berkas tersebut karena ia yakin banyak berkas-berkas lain yang perlu diperiksa dan mendapat persetujuan pria tersebut.

Sesampainya di lantai tempat ruang kerja Ardan berada, Krisna mengernyitkan alisnya bingung tatkala mendapati Anna yang sedang menopang wajah masamnya dengan dagu. Wanita cantik itu tampak sedang memikirkan sesuatu yang berat, lantas membuat Krisna kepikiran untuk menjahilinya. Seringai pun terbentuk di salah satu sudut bibir Krisna, selagi ia berjalan mengendap-endap mendekati kubikel sekretaris Ardan itu.

"DOR!"

"AYAM! AYAM!"

Krisna tidak kuasa menahan tawa terpingkal-pingkalnya karena ekspresi terkejut Anna yang benar-benar konyol. Apalagi, wanita itu sampai memekik dan mengeluarkan kebiasaan latahnya. Sukses membuat Krisna terus menerus memegang perutnya yang sakit karena terlalu lama tertawa.

"KRISNA!"

"Aduh, muka lu kocak banget!"

"Rese amat, sih, lu!" gerutu Anna sambil melayangkan beberapa pukulan ke arah Krisna, yang masih saja bekerja keras untuk menahan tawanya. Walaupun, pada akhirnya pria jangkung itu tetap tidak mampu menahan tawa terpingkal-pingkalnya tersebut agar tidak keluar. Ia bahkan tidak terganggu dengan pukulan keras yang dilayangkan Anna padanya. Krisna benar-benar menikmati hiburan kecil yang disuguhkan oleh ekspresi konyol Anna padanya.

"Ampun, ampun," gumam Krisna yang setelah sekian lama, akhirnya mampu meredakan tawanya meski sedikit-sedikit. Ia lantas meletakkan satu map berisi laporan yang harus diperiksa di atas meja Anna begitu saja. Masih dengan wajahnya yang memerah sebab terlalu banyak tertawa, "Titip, dong. Buat Pak Ardan."

"Ogah!"

"Kok, ogah?"

"Ya, lu-nya duluan yang rese!" jawab Anna dengan kekesalan yang terselip pada suaranya. Kedua tangan wanita itu sudah bersilangan di depan dada, sementara bibirnya mencebik sebal. Ia bahkan membuang pandangan dari Krisna dan memutar bola matanya dengan jengah. Saat ini, dirinya sedang tidak dalam mood yang baik untuk bercanda, dan Krisna justru memperparah mood buruknya itu.

"Yah, Anna. Jangan marah, dong. Kan, gue bercanda."

"Bercanda lu gak lucu."

"Ya ampun, masa gitu doang marah, sih? Gue minta maaf, deh."

"Gak!"

"Anna..."

"Gak, ya, Kris!"

"Anna cantik..."

"Diem gak lu?!"

"Gue beliin kopi, deh nanti siang. Di coffee shop depan kantor favorit lu itu."

Mendengar tawaran menarik tersebut, pertahanan Anna untuk mendiami Krisna pun runtuh. Wanita itu melirik ke arah Krisna sambil tetap mempertahankan gengsinya. Sedangkan tubuhnya perlahan mulai berputar sehingga ia bisa saling berhadapan dengan pria jangkung itu saat ini, "Bener?"

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang