"Saya yang harusnya minta maaf."
Ucapan David berhasil merenggut seluruh atensi Delia untuk tetap memaku pandangannya pada wajah pria itu.
"Saya salah. Tidak seharusnya saya pergi begitu saja waktu itu. Seharusnya saya tetap di sana dan lebih merhatiin keadaan kamu. Sampai kamu trauma dan menghindari saya, cukup membuat saya tahu bahwa keputusan saya menuruti emosi dan ego saya kemarin adalah salah."
Helaan nafas pelan keluar dari bibir David begitu ia menyelesaikan kalimatnya. Apa yang ia ucapkan barusan memang terkesan picisan dan menggelikan. Namun, ia hanya berusaha jujur dengan apa yang ia rasa. Ia tidak bisa menutupi itu. Persetan dengan gengsi. Setidaknya, Delia harus tahu bahwa hari itu ia bukannya sengaja meninggalkan Delia dan membuat gadis itu dipermalukan sendirian di sana. Harusnya ia bisa menahan emosinya pada Mita kala itu.
Terkejut adalah hal yang wajar dirasakan Delia ketika mendengar penjelasan David. Namun, kenapa ini terasa seperti mimpi? Se-begitu merasa bersalahnya kah David? Apa ini hanya formalitas? Kenapa rasanya sulit untuk dipercaya?
Delia mengerjapkan kedua matanya, masih tidak menyangka dengan apa yang baru saja keluar dari mulut pria itu. Ada rasa aneh yang menggelitik hatinya. Setitik rasa bahagia karena merasa begitu diperhatikan dan dipikirkan perasaannya oleh orang lain berhasil membuat degup jantungnya semakin cepat. Dan orang yang memperhatikan dan memikirkan perasaannya adalah orang seperti David. Ya, pria tampan, mapan, pintar, dan incaran semua wanita. Jadi, tidak salah kan kalau dirinya merasa begitu berbunga-bunga saat ini?
"Jadi, saya minta maaf atas apa yang terjadi ke kamu beberapa hari yang lalu. Terserah kamu mau maafin saya atau tidak, itu semua adalah keputusan kamu. Tapi, saya mohon jangan hindari saya lagi, ya," lanjut David, dengan seutas senyum manis yang terlukis pada dua sudut bibirnya. Ia masih intens menatap gadis gempal di sampingnya yang hanya diam itu.
"K-kenapa kalau saya ngehindarin Mr. David?" tanya Delia ragu dan nampak penasaran. Dirinya sendiri bingung bagaimana pertanyaan tidak sopan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Namun, sudah kepalang tanggung. Yang ia butuhkan hanyalah jawaban David.
"Ya... kamu kan ketua kelas mata kuliah saya. Kalau kamu saja ngehindarin saya, gimana saya bisa jaga kelas buat tetap kondusif. Saya tuh masih butuh bantuan kamu. Lagipula, aneh rasanya lihat kamu ngendep-ngendep saking pengen ngindarin saya. Saya lebih suka kamu yang heboh dan ceria. Delia yang saya kenal dan apa adanya."
Jika saja urat malunya sudah putus, mungkin Delia akan berjingkrak kesenangan saat ini. Rasanya ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya. Mengapa rasanya bisa semenyenangkan ini?
Pada akhirnya, Delia tidak bisa menahan tawanya. Dirinya terlalu senang saat ini dan tidak ada yang bisa menahannya tanpa terkecuali. Termasuk David yang kini mengernyit melihatnya tertawa, "Kamu kenapa ketawa?"
"Mr. David tau, gak? Omongan Mr. David tuh udah kayak dialog-dialog yang ada di FTV. Agak cringe, sih. Tapi, untung Mr. David ganteng," jawab Delia dengan santainya. Dirinya bahkan sudah lupa bahwa beberapa waktu yang lalu nyalinya menciut karena cemas berada di samping David. Dan kini dirinya sudah bisa kembali tertawa lepas di depan pria itu.
"Eung, gitu, ya?" tanya David ragu seraya menggaruk tengkuk lehernya yang sebenarnya tidak gatal, menutupi sedikit rasa malu setelah mendengar ucapan Delia. Meski begitu, ia sebenarnya tidak terlalu peduli. Bisa melihat gadis di sampingnya kembali seperti sosok yang ia kenal sudah cukup membuatnya merasa lebih baik. Rasa bersalah itu perlahan menghilang. Digantikan rasa bahagia yang seolah ditularkan Delia untuknya.
...
Sudah lebih dari dua jam Delia hanya mematut dirinya di depan cermin. Berkali-kali ia memutar tubuhnya, memastikan gamis putih gading itu tidak terlihat aneh pada tubuhnya. Sesekali ia menghela napas kesal. Kenapa rasanya semua pakaian tidak cocok di tubuhnya? Ia bahkan sampai menghentakkan kaki karena kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Ficção AdolescenteKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...