:: Bab XXXIV ::

2K 144 28
                                    

Kring! Kring!

Tangan besar itu berusaha menggapai benda pipih yang berdering dan bergetar di atas meja. Dengan kedua matanya yang masih terpejam, Delia menekan tombol hijau yang ada di layar ponselnya, lalu menempelkannya di telinga. Sampai akhirnya terdengar satu suara yang begitu ia kenal menggaungi telinganya.

"Kamu udah tidur?"

Mendengar suara berat tersebut berhasil membangkitkan Delia. Gadis gempal itu langsung terduduk, kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya sambil terkaget-kaget. Sesaat, ia melirik ke arah jam yang tergantung di dinding kamar Ardan, lantas memasang ekspresi wajah keheranan ketika menemukan waktu yang masih menunjukkan pukul tiga pagi.

"M-mas Ardan?"

"Saya ganggu kamu?"

Dalam diam, Delia menghela napasnya. Seharusnya Ardan tahu jawaban apa yang pantas untuk pertanyaan itu. Dirinya baru bisa tertidur sejam yang lalu. Otaknya selalu memutar kembali bayang-bayang ketika pria itu mencuri ciuman pertamanya, sampai Delia pusing dan kesulitan untuk tertidur. Untung saja ia cepat kelelahan, sehingga ia tepar begitu saja di atas sofa yang biasanya ditiduri Ardan. Dan mendengar suara pria itu lagi berhasil membuatnya teringat akan kejadian kemarin siang. Jantungnya kini mulai bekerja tanpa kendali. Ia bahkan merasa malu walau hanya dengan mendengar suara suaminya itu.

"Del?"

"Y-ya?"

"Kamu udah tidur, ya?"

"U-udah. Tapi, Mas Ardan nelpon. Jadinya saya kebangun."

"Ya udah. Saya tutup telponnya."

"E-eh?! Sebentar—"

Bodohnya Delia, yang langsung mencegah Ardan untuk menutup sambungan telpon tersebut. Ia sendiri pun tidak mengerti mengapa ia melakukannya. Hanya saja, hatinya terasa mengganjal ketika mendengar suara Ardan yang terkesan menyesal. Sehingga, dirinya pun tidak punya pilihan lain selain tetap membiarkan telpon diantara mereka tersambung.

"Kenapa? Tidur aja kamu. Udah malam."

"Mas Ardan kenapa belum tidur? Mas Ardan masih ngerjain sesuatu?"

"Iya."

"Istirahat dulu, Mas. Udah malam banget, loh. Jangan diforsir. Kan, bisa dilanjut besok."

...

Di lain tempat, Ardan memijit pangkal hidungnya yang berdenyut. Ia mengulas senyum tipis begitu suara gadis disebrang sana mengalun di dalam telinganya. Suaranya yang terdengar penuh perhatian berhasil menggelitik rongga dada Ardan. Yang ia pun tidak mengerti mengapa ia bisa merasakan itu.

"Istirahat dulu, Mas. Udah malam banget, loh. Jangan diforsir. Kan, bisa dilanjut besok."

"Tapi, saya harus cepet-cepet nyelesain kasus ini."

"Kalau Mas Ardan kerjanya begini, kasusnya emang cepet selesai. Terus nanti tinggal ambruknya aja, deh. Mas Ardan mau?"

"Kok, kamu ngomongnya gitu? Nyumpahin saya sakit?"

"Ya, gak gitu. Mas Ardan juga harus perhatiin kesehatan Mas sendiri."

"Kan, kalau saya sakit ada kamu yang ngurusin saya."

"Ih, apa, sih? Gak mau. Mas Ardan kan udah dewasa."

"Tapi, kan kamu istri saya."

"Ya, iya, sih. Tapi, kan—"

"Ssst. Sekarang saya ngantuk. Saya tidur dulu. Assalamualaikum."

"E-eh?! Mas Ardan—"

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang