:: Bab XXXVIII ::

2.1K 157 25
                                    

"Saya pergi dulu. Kamu tidur aja, gak usah nungguin saya. Kakinya kalau masih bengkak di kompres air hangat. Minta bantuan Mama kalau susah."

Tanpa repot memandang Delia, Ardan sibuk mengenakan jaketnya. Beberapa saat lalu, ia dapat telfon dari Krisna kalau harus pergi ke salah satu TKP karena mereka menemukan petunjuk baru dari kasus yang tengah mereka semua usut. Dan ia tidak bisa menolak begitu saja. Bagaimana pun, ia adalah pimpinan kasus ini dan sudah semestinya ia ikut dalam tiap penyelidikan.

"Saya kira Mas Ardan pulang cepat biar bisa istirahat. Tapi, malah pergi lagi."

Delia mengakhiri ucapannya dengan mengerucutkan bibir. Apa yang ia katakan barusan benar adanya. Ia pikir Ardan pulang lebih cepat dari biasanya agar bisa beristirahat. Namun, yang terjadi, pria itu justru harus kembali pergi demi pekerjannya. Membuatnya diam-diam tidak rela. Ia ingin suaminya sedikit lebih lama di rumah, sebentar saja.

Sementara itu, Ardan terkekeh pelan. Ia memutar tubuhnya, hingga bisa berhadapan dengan Delia yang tertunduk lemas. Entah bagaimana, sikap Delia yang seakan menunjukan dirinya tidak rela kalau Ardan pergi, sukses membuat relung hatinya menghangat. Kemudian, ia mengusap lengan gadis gempal itu dengan lembut.

"Kenapa? Kamu masih kangen sama saya? Apa karena mau lihat perut sixpack saya?"

"Ih, Mas Ardan! Masih aja di bahas!"

"Abisnya kamu lucu, sih. Ya udah, saya berangkat, ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Delia sembari mencium punggung tangan Ardan dengan lesu. Ia memandang punggung pria itu yang sudah bergerak meraih kenop pintu dengan tatapannya yang sendu. Akan tetapi, pergerakan Ardan yang tiba-tiba saja berbalik kembali ke arahnya, membuat Delia mengangkat satu alis kebingungan.

"Kenapa, Mas? Ada yang ketinggalan?"

Dilihatnya Ardan yang menatapnya dengan ragu. Hingga beberapa saat hanya terdiam, Ardan menguntai langkah dan mendekati Delia. Lalu, tanpa aba-aba mendaratkan satu kecupan lembut di dahi gadis yang ada di hadapannya tersebut. Sampai Delia berjengit kaget dan tidak mampu berkata-kata.

Ardan pun tidak tahu mengapa ia jadi seperti ini. Ia hanya mengikuti kata hatinya sekarang. Setelah beberapa kali mencoba menginstropeksi diri, kini ia akui bahwa ia cemburu jika Delia dekat dengan pria manapun kecuali dirinya. Ia akui ia jadi ingin terus melihat Delia. Ia akui kalau ia tidak bisa berhenti memikirkan Delia. Namun, Ardan tidak mengerti apa maksud dari ini semua.

Apa mungkin ia sudah mulai membuka hatinya?

Pertanyaan itu, masih belum mampu Ardan jawab. Yang ia tahu sekarang hanyalah ia akan bergerak mengikuti apa yang hatinya katakan. Dan ini salah satunya.

Ia lantas menjauhkan dirinya, dan menatap Delia yang masih terkejut dengan seulas senyum kecil. Tangannya terangkat, melambai pada Delia yang diam membisu, sebelum akhirnya berjalan keluar dari sana. Meninggalkan Delia yang langsung membuang napasnya yang tiba-tiba saja tertahan di tenggorokannya.

Sementara itu, degup jantung Delia sudah mulai tidak terkendali. Kalau sikap Ardan terus meneru begini, jantungnya bisa lebih cepat rusak dari pada manusia pada umumnya.

"Aaa! Tadi apaan?!"

...

Jarum yang ada di jam dinding itu menunjuk ke angka satu. Langit sudah begitu gelap, bersamaan dengan Delia yang juga mulai terlelap dalam tidurnya perlahan tapi pasti. Setelah berusaha agar bisa tetap terjaga dan menunggu Ardan pulang, nyatanya Delia menyerah. Hingga akhirnya, ia membaringkan diri dan memejamkan matanya. Membiarkan alam bawah sadarnya menarik ke dunia mimpi yang menyenangkan.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang