Rumah sakit itu tampak cukup ramai. Beberapa orang perawat serta dokter hilir mudik di area unit gawat darurat. Mobil ambulance yang baru saja datang dengan sirinenya yang memekakan telinga pun berhenti tepat di depan area tersebut. Para perawat yang menjaga pasien di dalam ambulance lantas bergegas turun dan memanggil perawat yang lain untuk membantu menurunkan pasien yang tidak berdaya itu.
Tidak lama kemudian, Range Rover hitam Ardan berhasil terparkir sempurna di depan rumah sakit, setelah harus berjalan dengan sangat cepat membelah jalanan ibu kota, hanga karena kepanikan Ardan yang tidak terkendali. Pria itu lantas turun dari mobilnya, lalu berlari menuju unit gawat darurat setelah memastikan mobilnya sudah terkunci. Dengan napasnya yang tersenggal-senggal, ia pun menghampiri bagian administrasi untuk menemukan seseorang yang sedang ia cari-cari.
"Permisi, s-saya mau mencari pasien namanya Zelia Angela, korban tabrak lari katanya baru saja masuk ke rumah sakit ini," jelas Ardan dalam satu tarikan napas. Ia kemudian mengedarkan pandangannya dengan gusar, selagi petugas di bagian administrasi itu memastikan seseorang yang ia cari. Akan tetapi, perhatiannya terhenti pada satu titik, dimana seorang wanita tertidur di atas ranjang rawatnya dengan kepala dan kakinya yang berbalut perban. Hingga akhirnya, tanpa membiarkan petugas tersebut berhasil menemukan orang yang ia cari, Ardan menguntai langkah mendekati ranjang yang menarik perhatiannya itu.
Tubuh Ardan tiba-tiba saja melemas, saat kedua matanya menemukan wajah yang sudah sejak tadi pagi begitu membuatnya khawatir. Ia mampu merasakan sesuatu menyayat hatinya dengan begitu dalam, ketika memperhatikan kondisi wania itu lekat-lekat. Lebih dari sekedar perban pada bagian kepala dan kaki, namun, memar-memar dan luka lebam juga menghiasi wajah serta bagian tubuh lain wanita tersebut. Membuatnya terlihat amat sangat mengenaskan.
"Zelia," panggil Ardan dengan lirih. Ia membungkukkan tubuhnya, lantas mengusap kepala wanita itu dengan lembut. Pria itu diam-diam menahan gejolak emosi di dalam dirinya. Penyesalan, amarah, dan kesakitan bercampur aduk di dalam hatinya sekarang. Meski ia sudah berusaha melupakan apapun tentang Zelia ataupun Ardelia, Ardan justru tidak mampu memungkiri bahwa kini hatinya sangat sakit melihat wanita itu dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Ia tidak mampu menahan kepedihan yang menjalar di dalam hatinya.
"Zelia... kenapa kamu bisa seperti ini?"
"A-ardan..."
Mustahil bagi Ardan untuk tidak terkejut. Bahkan kepalanya reflek mendongak, dan buru-buru mengalihkan pandangannya ke wajah Zelia yang penuh memar di beberapa bagian. Sementara kedua mata wanita tersebut mulai terbuka meski hanya sedikit. Bersamaan dengan tangannya yang susah payah ia angkat hanya agar bisa menyentuh Ardan.
Menyadari hal itu, Ardan langsung menggapai tangan Zelia yang terangkat. Ia menggenggam tangan kecil itu dengan kedua tangannya, semakin erat seiring dengan sorot matanya yang mencoba meyakinkan wanita tersebut bahwa dirinya memang ada di sana, "Zelia... aku di sini."
Dengan napasnya yang sangat lambat dan sisa-sisa tenaganya yang masih ada, Zelia memaksakan satu senyum kecil di antara kedua sudut bibirnya. Seakan sedang memberitahu Ardan, kalau ia tidaklah apa-apa. Wanita itu pun susah payah mengeluarkan kata-kata dari dalam tenggorokannya. Meski pada kenyataannya, melakukan hal itu dalam keadaannya yang seperti ini cukuplah sulit.
"A-ardan..."
"Hm, Zelia. Aku di sini," jawab Ardan, sambil susah payah menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar. Sedangkan Zelia justru berusaha untuk semakin merekahkan senyumnya, hingga Ardan tidak lagi kuasa untuk menahan setitik air mata dari sudut matanya. Ia bergegas menyeka cairan bening tersebut, namun tangan Zelia sudah lebih dulu melakukannya, "J-jangan menangis... A-aku ti-tidak apa-apa..."
Ardan mengangguk pelan, lalu mengulas senyum tipis. Ia berusaha menahan dirinya untuk tidak kembali menangis, walau rasanya terlalu sulit sampai tenggorokannya sakit. Pria itu mengelus tangan Zelia yang masih berada di pipinya, sesekali mengecupnya dengan hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...