“Kak Anna.”
Perhatian Anna mau tidak mau teralih, begitu mendengar suara seseorang menyerukan namanya. Ia lantas mengangkat pandangan dari beberapa pekerjaan di hadapannya, dan sukses menemukan Delia yang kini tengah berdiri tepat di depan kubikelnya. Seulas senyum pun merekah di antara kedua sudut bibirnya, membalas senyum ramah gadis gempal itu, sebelum akhirnya menyambut dengan pekikan girang.
“Ya ampun, Delia! Udah lama banget gak ketemu!”
Delia tertawa renyah, sementara kedua tangannya bergerak memeluk Anna yang sudah keluar dari kubikel kerjanya. Hatinya menghangat, sedikit tidak menyangka jika ketidakhadirannya beberapa hari belakangan untuk mengantar makan siang Ardan ternyata dirindukan oleh Anna. Membuat senyumnya mengembang semakin lebar, berpikir bahwa masih ada orang yang menganggap kehadirannya di sana. Dan Delia merasa begitu bersyukur.
“Emang udah lama banget, ya, Kak? Kayaknya baru semingguan ini, deh.”
“Iya, tetap aja. Seminggu itu, tuh lama. Kamu kemana aja? Aku sampai pusing sendiri tau, gak ngadepin Pak Ardan selama kamu gak pernah nganterin makanan,” jawab Anna seraya melepaskan diri dari pelukan itu. Ekspresi wajahnya terlihat sebal, mengingat kelakuan atasannya yang memang dalam seminggu ini selalu uring-uringan, apalagi dalam urusan makanan.
Ardan tidak ada hentinya terus menanyakan apakah Delia sudah mengantar makanan atau tidak. Kemudian berlanjut dengan dirinya yang plin-plan setiap memilih menu makan siangnya. Sehingga, dirinya mau tidak mau harus menunggui Ardan menentukan makanan untuk makan siang sampai ia melewatkan jam istirahatnya sendiri. Padahal, sebelumnya Ardan tidak pernah semenyebalkan ini.
Sementara itu, Delia tampak menautkan kedua alisnya dengan keheranan, “Kok, gitu? Emangnya kenapa, Kak?”
Dilihatnya Anna yang menggeleng cepat. Wanita cantik itu kemudian merangkul Delia dan membawanya berdiri di depan pintu ruang kerja Ardan, “Udah, kamu gak usah tahu tentang itu, deh. Mending langsung masuk aja. Udah ditungguin dari tadi sama Pak Ardan.”
Pintu itu pun terbuka, setelah Anna membukakannya untuk Delia. Ia membiarkan gadis gempal itu untuk
masuk dan buru-buru menutupnya kembali. Cukup menimbulkan keributan sampai Ardan yang tengah fokus dengan kerjaannya mau tidak mau menolehkan kepalanya.Keningnya mengkerut dalam, begitu menemukan Delia yang berdiri di ambang pintu sambil menyengir lebar, “Delia?”
“Assalamualaikum, Mas Ardan.”
“Waalaikumsalam.”
Meski agak ragu, karena mengingat sikap Ardan yang masih terus mengabaikannya sejak masalah mengenai David kemarin hari, Delia pun berjalan pelan menghampiri meja kerja Ardan. Lantas meletakkan goodie bag yang ia bawa di atas meja pria itu, “Makan siangnya Mas Ardan.”
Ardan memperhatikan goodie bag itu, dan gadis gempal di hadapannya bergantian. Air mukanya terlihat datar, berbanding terbalik dengan cacing-cacing di dalam perutnya yang sudah berdemo meminta jatah makanan mereka. Ia masih tidak bisa melupakan bayang-bayang ketika David yang mengusap wajah Delia tempo hari. Rasanya, satu bogem mentah belumlah cukup untuk keparat seperti pria itu. Jika saja Delia tidak menahannya kemarin, ia pasti bisa menghajarnya hingga babak belur. Berani-beraninya pria itu menyentuh Delia yang sudah sah menjadi istrinya. Ardan tidak terima.
“Mas Ardan masih marah sama saya?” tanya Delia, setelah melihat Ardan yang hanya terdiam. Ia juga tidak mengerti mengapa Ardan masih saja mengabaikannya, padahal ia sudah meminta maaf kemarin. Dirinya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, paling tidak agar Ardan tidak terus memasang ekspresi datar yang sangat Delia benci itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Novela JuvenilKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...