Langkah Ardan terlihat tidak bertenaga. Begitu pula ekspresi wajahnya yang begitu lesu dan lemah. Sedangkan tatapan matanya yang lurus ke jalanan yang ada di depannya tampak sendu dan datar. Terlalu banyak hal yang mencuri perhatiannya dan membuat pikirannya menjadi kalut.
Apa dirinya salah?
Menurutnya, Delia tidak seharusnya egois seperti itu. Sampai berpikiran macam-macam bahwa Zelia akan melakukan sesuatu agar mereka bisa kembali bersama. Ia tahu, Zelia tidak seburuk yang Delia pikirkan. Zelia adalah orang yang baik, meski beberapa hari yang lalu wanita itu memang masih belum bisa menerima keputusan Ardan. Tapi, Zelia pasti akan bisa menerimanya pelan-pelan. Dan tidak mungkin melakukan sesuatu hanya untuk memaksakan kehendaknya.
Helaan napas Ardan terdengar berat. Kekecewaan yang ia rasakan karena Delia yang sudah menuduh Zelia macam-macam dan sudah bersikap egois pun begitu ketara. Berimbas pada ekspresi wajahnya yang jadi terlihat tidak mengenakan. Ia hanya tidak menyangka Delia bisa berpikir kekanak-kanakan seperti itu.
Pergerakan kaki Ardan pun terhenti, begitu kamar rawat Zelia sudah ada di depan matanya. Ia mengintip melalui jendela kecil yang berada di pintu, memperhatikan Zelia yang ternyata sudah terlelap di atas ranjangnya. Ardan pun menarik napas dalamnya sesaat, sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu tersebut secara perlahan. Sebisa mungkin untuk tidak membangunkan wanita tersebut. Sementara dalam diam, ia berusaha mengenyahkan pikirannya tentang Delia dan yang terjadi di rumah tadi. Ia harus fokus pada Zelia sekarang.
Usai menutup kembali pintunya dan berjalan mendekat, Ardan lantas mendudukan dirinya di atas kursi yang berada di samping ranjang Zelia. Ia memperhatikan wanita malang itu lekat-lekat. Ada setitik kesakitan yang dirasakan hati kecilnya melihat keadaan Zelia yang mengenaskan seperti ini. Pasti tidak mudah bagi Zelia untuk bisa bertahan sampai sekarang, seorang diri. Dan Delia yang tidak mengerti itu justru bersikap egois tanpa memikirkan perasaan Zelia, padahal mereka adalah sama-sama perempuan.
Tangan Ardan pun tergerak, ia menggenggam tangan Zelia dan mengelusnya dengan lembut. Satu sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk satu senyum kecil selagi tangannya yang lain mengusap kening wanita tersebut. Mencoba menyalurkan apa yang ia rasakan terhadap Zelia. Ia bertekad akan membantu Zelia, serta akan selalu menemaninya apa pun yang terjadi.
Sepersekian detik kemudian, kedua mata Zelia terbuka secara perlahan. Begitu menemukan wajah Ardan yang tengah tersenyum ke arahnya, ia ikut merekahkan senyumnya. Sementara dirinya menikmati elusan tangan Ardan pada keningnya yang terasa sangat nyaman dan menenangkan, "Akhirnya kamu dateng juga."
"Aku membangunkan kamu?" tanya Ardan dengan sedikit ragu. Dilihatnya wanita di hadapannya itu menggeleng pelan, lalu balik menggengam tangan Ardan, "Tidak, kok. Kamu pasti sibuk, ya? Makannya jam segini baru datang?"
Tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, Ardan justru termenung sesaat. Ia tidak tahu, haruskah ia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi ataupun tidak. Pasti Zelia akan merasa sakit hati jika tahu Delia telah memikirkan hal yang tidak baik tentangnya. Hingga akhirnya, Ardan memilih untuk menganggukan kepalanya, mengiyakan tebakan Zelia sebelumnya, "Hm. Pekerjaanku lumayan banyak hari ini. Belum lagi tidak ada yang membantuku karena sekretarisku harus dirawat di rumah sakit."
Mendengar itu, Zelia meringis tidak enak. Bersamaan dengan wajahnya yang langsung memasang ekspresi penuh rasa bersalah, "Maaf, ya. Aku malah jadi merepotkanmu."
"Tidak apa-apa. Yang penting kamu fokus sama kesembuhan kamu dulu sekarang," jawab Ardan, melebarkan kembali senyumnya yang sempat memudar. Ia lalu mengusap kening Zelia untuk yang terakhir kali, sebelum menyuruh wanita tersebut untuk melanjutkan istirahatnya yang sempat terganggu karena kehadiran dirinya di sana, "Kamu tidur lagi, ya. Kamu perlu banyak istirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Between the Difference [ C O M P L E T E ]
Teen FictionKami berbeda. Aku dan Dia, jauh berbeda. Hanya keyakinan yang dapat menyatukan perbedaan kami. Tapi, aku tidak yakin apakah aku bisa bertahan dengan adanya perbedaan ini atau tidak. Semuanya terasa begitu mustahil, bahkan jika itu hanya dalam peng...