:: Bab XXI ::

1.9K 155 10
                                    

Seberkas cahaya matahari pagi menembus tirai jendela kamar Ardan. Berhasil membangunkan kembali pria itu, yang memutuskan untuk melanjutkan tidurnya setelah melaksanakan ibadah Subuh tadi. Dirinya kemudian meraih jam weker di nakas samping tempat tidurnya, lalu mengusap wajahnya kasar ketika melihat waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Ia kesiangan ternyata.

Dengan nyawa yang sudah hampir terkumpul semua, ia pun bangkit dari tempat tidurnya. Kedua kakinya membawa Ardan menuju jendela kamarnya yang cukup besar, lantas menyibak tirai itu hingga sinar matahari menyentuh langsung kulit wajahnya. Kicauan burung yang terdengar nyaring dan merdu semakin menambah kesyahduan pagi itu. Hingga Ardan memejamkan matanya sesaat, menikmati suasana menenangkan tersebut setelah semalam ia kesulitan tidur karena memikirkan kata-kata Delia.

Selang beberapa saat kemudian, ia membuka kedua matanya. Mencoba menghapus kata-kata Delia yang sampai pagi ini masih terus terngiang di dalam kepalanya.

"Saya mengerti, kok, Mas Ardan. Tapi, izinin saya untuk berjuang atas kata hati saya, ya, Mas? Saya bakal berusaha membantu Mas Ardan. Sebisa saya."

Delia bilang dia akan membantunya. Dan Ardan sungguh terus mengusahakan dirinya untuk tidak perduli akan hal tersebut. Kalau dugaannya benar, bahwa semalam gadis gempal itu memang menguping pembicaraannya dengan Krisna dan Dodi, maka itu urusan Delia dan Ardan tidak perlu memikirkan perasaan gadis itu. Jika Delia sakit hati itu adalah resiko yang harus ditanggungnya sendiri. Dan seharusnya, hal itu menguntungkan bagi Ardan karena pada akhirnya, Delia pasti akan menolak perjodohan mereka.

Ya, seharusnya seperti itu yang ia rasakan. Akan tetapi, perasaannya kini justru berbanding terbalik. Delia pasti sakit hati mendengarnya, dan dalam sudut hati terdalamnya, Ardan mencemaskan itu. Namun, entah bagaimana gadis itu masih tetap bisa tersenyum kepada Ardan. Seolah tidak ada hal yang berarti yang bisa menghentikannya untuk terus melanjutkan perjodohan mereka. Dan Ardan membencinya. Membenci dirinya sendiri yang malah memikirkan bagaimana perasaan Delia saat ini, serta berharap bahwa gadis itu tidak akan gegabah dengan keputusannya.

Delia terus termenung selama kakinya bergerak membawanya menuju kelas. Tatapan kosong dari kedua matanya ia berikan pada jalanan di depannya, selagi otaknya tidak kunjung bisa melupakan kata-kata Ardan semalam. Ia bahkan tidak menghiraukan Luna yang sudah berjalan di sampingnya sambil menilik wajah muramnya itu.

“Delia?”

“Delia? Lu kenapa?”

“Delia? Do you hear me?”

“DELIA NOVITASARI!”

“Y-ya?!” pekik Delia secara reflek, tatkala Luna meneriaki nama lengkapnya tepat di telinga. Ia pun sekedar menghela napasnya, kemudian melanjutkan langkahnya kembali. Lagi-lagi tidak menggubris panggilan Luna padanya. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan hingga ia sendiri kebingungan dan tidak bisa fokus pada hal-hal di sekitarnya.

Luna yang mulai tidak sabar pun menarik tangan gadis gempal itu dengan kencang. Membuat Delia terpaksa berbalik ke arahnya, “Lu kenapa, sih, Del?! Ada apa?! Lu bikin gue khawatir tau, gak?!”

Bentakan Luna barusan memang bukan bermaksud memarahi Delia. Namun, nyatanya ia salah menangkap maksud sahabat cantiknya itu. Suara tinggi gadis tersebut entah kenapa membuatnya sakit hati hingga ia tidak bisa menahan air matanya untuk tidak keluar. Dan Luna tentu menjadi semakin panik melihat Delia justru menangis di depannya.

“Loh, Delia? K-kok nangis? G-gue, kan cuma nanya. Gue salah, ya?”

Ditanya seperti itu, tangis Delia bukannya berhenti malah semakin kencang. Belum lagi orang-orang di sekitar mereka yang kini memperhatikan mereka dengan tatapan aneh dan bertanya-tanya. Sehingga Luna langsung merangkul Delia dengan lembut dan membawanya ke tempat yang lebih sepi.

Between the Difference [ C O M P L E T E ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang