Seperti biasa Rindu duduk sendirian di teras rumah. Matanya menatap kosong jauh ke luar pagar. Dia membiarkan angin memainkan anak-anak rambutnya yang bersembulan dari balik kerudung berwarna biru yang menempel di kepalanya. Demikian heningnya, hingga Rindu tak menyadari kalau ada Steve datang dan sengaja duduk di sampingnya.
"Boleh kududuk di sini," Steve berbasa-basi memulai percakapan. Rindu menoleh ke arah suara, sedikit bingung menatap orang asing di sampingnya.
"Boleh", ketus Rindu sambil menggeser sedikit badannya.
"Terima kasih..." Namun Rindu hanya diam membisu seperti tak peduli akan kehadiran Steve suaminya.
"Nice weather..." Steve mencoba berbasa-basi lagi. Rindu hanya mengangguk, kemudian hening.
"Dulu sebelum ada Bara, kita sering menghabiskan waktu menanti senja. Aku dengan secangkir kopi panas, dan kamu dengan secangkir teh yang masih mengepul. Sambil berdiskusi perihal mimpi-mimpi yang akan kita bangun bersama." Tetapi Steve tak menyerah, dia mencoba mencari topik pembicaraan lain.
"Kamu ingat tidak, bertahun lalu aku melamarmu menjelang senja. Saat itu kamu masih bekerja sebagai wartawan di sebuah kantor berita. Dan aku sengaja terbang dari New York ke Jakarta hanya untuk bilang kalau aku mencintaimu dan aku tak ingin kehilanganmu lagi untuk selamanya".
"Dan pada suatu senja di bulan Maret jelang ulang tahunmu, di rumah kita di New York. Kau dengan girangnya menyodorkan test pack dengan dua strip kepadaku. Dan aku berteriak-teriak seperti orang gila sambil berlarian ke teras rumah saking girangnya."
"Kamu ingat tidak, senja terakhir sebelum kamu kontraksi dan pecah ketuban. Kala itu kita berdebat kecil tentang siapa nama untuk jagoan kita kelak. Kau mati-matian mengusulkan nama Bara, sedang aku bersikeras ingin menamai diaDavid. Hingga kita harus adu bermain sudoku, dan kamu yang menang. Akhirnya Bara jadi nama anak kita..."
Dan Rindu masih tak bergeming meski Steve terus menenerus menjejali Rindu dengan potongan-potongan kenangan manis mereka di senja-senja yang telah berlalu.
"Rindu..." lirih Steve. Rindu menoleh dengan jengkel.
"Siapa kamu? Aku tidak mengenali kamu...!" ujar Rindu dengan ketus kemudian kembali melemparkan pandang ke arah lain. Steve menatap bingung sambil menelan ludah.Sebenarnya Steve ingin menjelaskan dan menjejali lagi potongan-potongan kenangan mereka kepada Rindu yang hilang ingatan di sore itu. Tapi ah percuma! Rindu tak ingat suatu apapun. Lagipula, Steve tak ingin merusak senja terakhir bersama Rindu, sebelum dia terbang kembali ke New York esok hari.
"Aku dan Bara pulang besok dengan pesawat paling pagi. Aku harus kembali bekerja mencari uang untuk kita. Aku pergi tak akan lama. Aku berusaha untuk kembali kepadamu secepat mungkin."
Rindu menoleh lagi, "kumohon tinggalkan aku! Aku tidak mengenalimu. Aku tidak mengerti apa yang kamu ucapkan".
"Jaga diri baik-baik sayang. Aku dan Bara sangat mencintaimu...", Steve tak peduli dengan tatapan Rindu. Tangan Steve meraih tangan Rindu dan meremasnya. Buru-buru Rindu menepis tangan Steve.
"Pergi kataku!" Bentak Rindu. Steve buru-buru menguasai diri. Sebenarnya dia masih ingin memeluk dan menciumi Rindu, tapi ah...
"Pergi!" Mata Rindu mendelik menatap tajam ke arah Steve. Tetiba hati Steve ciut.
"Maaf..."
"Pergi!" Usir Rindu sekali lagi. Sebenarnya Steve masih ingin bertahan, namun dia mengurungkan niatnya. Dia pun beringsut pergi tanpa bicara lagi, meninggalkan Rindu sendirian. Hati Steve berkecamuk hebat. Dia tak pernah membayangkan kekasih yang dicintainya melupakannya begitu saja.
Cuaca yang bagus.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...