Sejak subuh, Rindu sudah mengemasi barang-barangnya. Ia sudah membulatkan tekadnya untuk pulang ke rumah ayah dan ibunya hari ini. Rencananya pagi ini, Rumin, supir sang ayah akan datang menjemputnya.
Rindu pikir, ia perlu beristirahat beberapa hari untuk menjernihkan pikirannya. Rindu hanya sedang sedih. Rindu pikir anak-anak mencintainya. Namun, hingga hari ketiga kemarin, hanya Angin yang masih setia datang untuk belajar mengaji. Yang lain entah kemana.
Bahkan Ica, Dina, Shafiga, Dinda, dan para gadis lainnya yang saban sore datang menyambangi rumahnya pun tetiba hilang tak tahu rimbanya.
"Apakah mereka sudah bosan dengan diriku?" Tanya Rindu dalam hato berkali-kali. Dan Rindu tidak berani menjawabnya.
Bagi Rindu, anak-anak Rumah Quran Ar Rahman adalah dunia kecilnya. Tanpa mereka hidup Rindu terasa hampa. Apalagi di kampung Sukabakti, Rindu tinggal sendiri.
Rindu menatap ponselnya. Ia seperti sedang mempetimbangkan keputusannya. Jemarinya dengan lincah menyentuh-nyentuh layar ponsel. Tertera nama 'Ibu Eko'. Ia pun mulai mengetik,
"Assalamualaikum Wr Wb. Mohon maaf, beberapa hari ini kelas libur. Saya mau pulang ke rumah orang tua."
Dan 'Send'! Pesan itu pun terkirim.
Rindu menunggu beberapa menit untuk menunggu reaksi. Namun, hingga hampir setengah jam, Rindu tidak mendapatkan balasan. Bahkan pesannya pun belum dibaca oleh Ibu Eko.
Kali ini ia mencoba mengirim pesan yang sama pada Lisda. Dan Lisda yang biasanya sangat responsif membalas pesan-pesannya. Kali ini pun sama. Bahkan sepertinya ponsel Lisda mati. Begitupun Pak Sobari, teman mengajarnya di Rumah Quran.
Rindu melirik jamnya. Sudah pukul setengah sembilan pagi. Ia pun sudah selesai berkemas. Ia pun segera beranjak dari tepi ranjang menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Tak sampai sepuluh menit, Rindu sudah mandi dan memakai pakaian terbaiknya. Siap untuk dijemput.
Sebetulnya lapar mulai menyerang. Namun, Rindu merasa malas kalau harus ke dapur dan menyiapkan sarapan untuknya. Rindu memilih bersabar hingga Rumin menjemput. Mungkin Rindu bisa sarapan di perjalanan menuju rumah orang tuanya.
Rindu melirik ponselnya. Masih belum ada balasan dari Ibu Eko, Pak Sobari dan Lisda. Bahkan pesannya belum dibaca. Raut wajah Rindu mulai terlihat kecewa.
Rindu mencari-cari nama Angin di ponselnya.
"Angin Topan!" Rindu mengeja dalam hati. Tetiba sederet kenangan manis dirinya bersama Angin di Kampung Sukabakti melintas begitu saja di pelupuk matanya. Angin yang tak banyak bicara, polos namun berhati lembut. Angin adalah satu dari sekian alasan mengapa Rindu betah di kampung ini.
Angin bukan hanya murid tetapi juga sahabat bagi Rindu. Rindu benar-benar sudah jatuh hati pada Angin.
"Assalamualaikum wr wb... Angin saya pergi ya. Insya Allah, kalau sudah siap saya kembali lagi."
'send'! Pesan pun terkirim. Sepuluh menit berlalu, dan Rindu masih juga belum menerima balasan dari Ibu Eko, Pak Sobari, Lisda bahkan Angin. Bahkan pesannya pun belum terbaca.
"Mungkin semuanya sedang sibuk," Rindu bergumam. Kemudian ia menaruh ponselnya di dalam tas punggungnya. Sedang ia meraih Al Quran kesayangannya. Rindu membaca quran sembari menunggu Rumin datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...