70

264 20 0
                                    


Angin menghentikan sepedanya tepat di pinggir aliran sungai kecil yang membelah kampung Sukabakti menjadi dua bagian. Satu di tempat Angin dan Sakti berpijak, satunya lagi berada di seberang mereka berdua.

Kesedihan terpeta pada raut wajah Angin. Setelah memarkir sepedanya, Dia memilih duduk di tepi sungai sambil menyepak-nyepak air. Sesekali dia melempar batu ke sungai hingga menimbulkan bunyi celepuk.

Sedang Sakti memutuskan duduk di samping Angin. Pikir Sakti, Angin murung karena lelah dan ingin beristirahat.

"Jadi kamu sudah tahu soal isu itu?" Tanya Angin seraya mendayung-dayungkan tangan kanannya ke dalam air .

"Tau sedikit...." Sakti sambil melemparkan batu kecil ke air sungai hingga membuat percikan kecil.

Angin menatap Sakti. Sejenak mata mereka bertemu.

"Iya....kemarinan Dimas, Evan bilang, dia gak mau ngaji lagi. Gadis-gadis juga bilang."

"Ohya?" Angin tak percaya, hanya dia satu-satunya yang baru tahu soal isu aliran Islam radikal yang dibawa Rindu.

"Iya...."

"Terus kamu percaya?" Tanya Angin masih menatap Sakti.

"Aku?" Sakti menunjuk dadanya sambil menatap Angin. Lalu terkekeh.

"Hahahah aku sudah kebal soal begituan. Dahulu, bapakku juga dibilang beda aliran hanya karena berkomentar soal banyaknya bid'ah yang malah dijadikan ibadah wajib. Padahal yang Fardhu apalagi Sunnah diabaikan." Jelas Sakti.

"Pak Sobari?" Angin penasaran.

"Iyah!" Sakti mengangguk. Angin makin penasaran.

"Dahulu, jauh sebelum Ibu Rindu datang ke kampung ini. Bapakku yang jebolan pesantren sudah mengajar ngaji. Namun karena bapak terlalu naïf saat itu. Banyak warga kampung yang menarik anak-anaknya agar tidak megaji lagi sama bapak. Makanya bapak sempat patah arang. Bapak akhirnya memilih bekerja di kota."

Angin mengangguk-angguk.

"Menurutmu siapa pelakunya?"

"Entahlah?" Sakti mengangkat bahunya.

"Tidak tahu dan tidak mau tahu!" Lanjut Sakti.

"Jadi kamu tetap mengaji?"

"Ya iyalah....Aku sih gak akan berhenti mengaji."

Angin mengangguk.

"Tapi mungkin seminggu ini aku izin dulu."

"Loh kenapa?" Setelah melemparkan batu ke air sungai. Angin menatap Sakti dengan kaget.

"Iya, Senin depan aku bertanding lagi. Jadi mulai malam ini sudah mulai latihan intensif."

"Silat?"

"Iya."

"Oh gitu."

"Kamu?" Tanya Sakti balik.

"Ngaji Insya Allah!" Angin terdengar ragu.

"Ibumu?" Pertanyaan Sakti membuat Angin makin gamang.

"Kita lihat saja nanti. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi aku pasti datang sih!" Angin lagi.

"Cabut yuk! Udah mau Maghrib!" Sakti tiba-tiba, menyadari senja siap menjemput matahari ke peraduannya. Sakti bangkit menatap Angin yang masih duduk di bawah.

"Sebentar...!" Tangan kanan Angin meraih batu kecil kemudian melemparkannya sekuat tenaga. Ia melihat bagaimana batu itu terlempar cukup jauh ke bagian sungai yang dalam. Setelah air terpercik, Angin tersenyum puas.

Angin segera bangkit menyusul Sakti, sahabatnya yang sudah berada di atas sepeda. Angn segera menaiki sepedanya. Tak menunggu lama, keduanya segera mengayuh sepedanya meninggalkan tempat rahasia mereka berdua menuju rumah.

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang