Angin memarkir sepedanya di teras rumahnya. Sebelum ia bergegas masuk ke rumah sambil menenteng tiga bungkus nasi uduk.
"Dapat nasi uduknya?" Tanya sang ibu sambil menyuapi bayi dalam gendongannya.
Tanpa berkata-kata, Angin mengangkat bungkusan nasi uduk sambil tersenyum.
Sang ibu tersenyum, "buruan sarapan!"
Angin udah ngeloyor pergi, meletakkan bungkusan nasi uduk di meja makan kemudian beranjak ke kamarnya.
Sang ibu mengamati dari jauh, "loh kok gak dimakan?"
"Nanti bu, belum lapar!" Angin berjalan menuju pintu kamarnya tanpa menoleh.
Angin membuka pintu kamar dan menutupnya lagi. Ia memang berencana ingin melanjutkan tidur. Pasalnya semalam ia baru terlelap menjelang subuh. Ia sibuk menggambar.
Angin menghempaskan badannya di atas ranjang. Jari-jemari tangan kanannya meraba-raba ranjang, berusaha mencari ponselnya yang tersembunyi entah dimana.
Dan 'hap!', Angin akhirnya mendapatkan ponselnya. Ia pun meraihnya dan segera melihat layarnya. Ada sebuah pesan baru, dari Ibu Rindu.
Hati Angin berdebar kencang, antara girang dan penasaran. Apa gerangan yang membuat guru ngaji kesayangannya mengiriminya pesan pagi-pagi.
"Assalamualaikum wr wb... Angin saya pergi ya. Insya Allah, kalau sudah siap saya kembali lagi." Angin membaca perlahan, pesan yang dikirim Rindu setengah jam yang lalu.
"Hah! Dia beneran mau pergi?"
Angin pun segera membalas pesan itu,
"Waalaikumussalam Wr Wb..."
"Pergi kemana?"
"Ibu sekarang dimana?"
"Pergi jam berapa?"
"Bu..."
"Ibu...."
Dan Angin sama sekali tidak mendapat jawaban dari Rindu. Bahkan sepertinya Rindu belum membacanya.
"Tetaplah di situ! Saya datang bu!"
Setelah mengirim pesan itu, Angin segera menyimpan ponselnya di kantong celana. Ia pun melompat dari ranjang, keluar kamar dan berlari menuju teras tempat ia memarkir sepeda.
"Mau kemana?" Ibu Angin bingun melihat Angin melesat begitu saja di hadapannya seperti terburu-buru.
"Sebentar bu, ada perlu..." Angin bahkan tak menoleh ke arah sang ibunda.
Tanpa membuang waktu, setelah menyiapkan sepedanya. Angin segera memacu sepedanya scepat-cepatnya menuju rumah Rindu.
Begitu cepatnya Angin mengayuh sepeda, hingga beberapa kali ia sempat hampir menabrak orang di jalan. Satu dua orang yang kaget saat dia melintas dengan sepedanya, bahkan memaki-maki dirinya.
"Woy! Naik sepeda pelan-pelan. Emang ini jalanan bapak moyang lo!"
"Siapa sih dia? Kurang ajar banget!"
Angin tak peduli. Ia terus mengayuh sepedanya. Tujuannya cuma satu, Ia harus segera menemui Rindu. Kalau ia tak bisa menahan Rindu yang sedang sedih untuk pergi, setidaknya ia punya kepastian kemana dan untuk berapa lama Rindu pergi meninggalkan kampung Sukabakti.
Begitu kencangnya Angin mengayuh sepeda, ia hampir saja tertabrak sebuah mobil van putih yang melaju dengan santai. Mobil itu sempat mengerem mendadak agar tidak menabrak Angin. Sang supir membuka jendela kaca mobil, melongok keluar dan memaki, "kampret luh!"
Angin hanya mengangkat tangan kanannya tanpa menoleh sambil terus mengayuh sepeda sebagai isyarat permohonan maaf. Pokoknya Angin ingin segera melihat Rindu.
Dan akhirnya tak sampai sepuluh menit, Angin tiba di halaman rumah Rindu. Ia meompat dari sepeda, dan meletakkan sepedanya begitu saja tanpa memasang standar sepeda. Angin berlari menuju pintu rumah Rindu dan segera mengetuknya keras.
"Asalamualaikum bu...bu Rindu!" Angin berteriak.
"Bu....Ibu Rindu....." Terus berteriak sambil mendongak ke atas, berharap Rindu akan melongok dari jendela kamarnya di lantai dua.
"Ibu..... Ibu Rindu....ini Angin!" Hampir setengah jam Angin berteriak-teriak macam orang kesetanan memanggil Rindu, namun tak ada jawaban.
"Dia sudah pergi..." Lirih Angin sedih. Dengan berat hati, Angin berjalan gontai meninggalkan pintu rumah Rindu menuju sepedanya yang merebah ke tanah. Angin mendirikan sepedanya kemudian menaikinya.
Sebelum mengayuh sepedanya, Angin mendongak ke atas lagi, menatap jendela kamar Rindu yang tertutup korden hanya demi memastikan tak ada Rindu di sana. Angin pun menatap ke arah pintu, sambil berharap Rindu akan keluar. Namun sayang, Rindu yang sangat dinantinya sudah pergi.
Ia meraih ponsel di kantongnya hanya demi mengecek, apakah pesannya sudah dibaca Rindu. Dan ternyata, satu pun pesan itu belum dibaca Rindu.
Jari-jemari tangan kanan Angin mengetik, "Saya datang ke rumah ibu dan ternyata Ibu sudah pergi."
Angin menambah emoticon sedih di pesannya.
"Balas pesan saya kalau ibu membaca pesan ini.."
Angin mengakhiri ketikannya. Ia segera memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
Angin patah arang. Ia menunduk, demi menghela nafas yang berat karena sedih dan kecewa. Kemudian akhirnya ia mengayuh sepedanya pelan kembali menuju rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...