104

443 20 0
                                    


Ini adalah hari kepulangan Rindu ke Amerika. Sedari malam tadi, Angin sudah meneguhkan hatinya untuk tidak ikut melepas kepergian ibu guru Rindu di bandara. Mata Angin terlihat sembab karena semalaman menangis.

"Laki-laki tak boleh menangis!" Begitu ucap Rindu pada Angin suatu waktu, setelah Rindu mengumumkan hari keberangkatannya pada anak-anak.

"Sesekali boleh..." buru-buru Rindu meralat.

"Tetapi laki-laki harus lebih tegar daripada perempuan. Usap air matamu Angin!" Tetapi Angin hanya menunduk, sambil bahunya berguncang menahan tangis. Pipinya basah.

"Setiap pertemuan ada perpisahan. Tidak ada yang abadi di dunia ini, Angin. Itu sudah ketetapan Allah."

"Apa ibu sudah tidak sayang lagi pada kami?" Mata Angin yang basah oleh air mata memberanikan menatap Rindu.

"Saya sayang kalian. Sampai kapanpun kalian akan tetap ada di hati saya, dimanapun saya berada." Suara Rindu tercekat.

"Bohong! Ibu tidak sayang kami. Kalau sayang...ibu tidak akan pernah pergi meninggalkan saya dan teman-teman." Tangis Angin meledak.

"Berhenti Angin!" Percuma, tangis Angin malah makin keras.

"Berhenti kubilang!" Rindu membentak. Tangis Angin mulai mereda.

"Dengarkan saya! Saya sudah lama meninggalkan keluarga kecil saya. Kamu tahu betapa saya sangat mencintai mereka lebih dari apapun juga. Begitu pun saya sangat mencintai kamu dan yang lainnya. Tapi saya harus memilih."

"Mengapa? Tak bisakah ibu tinggal di sini bersama keluarga kecil ibu. Agar kami tak perlu kehilangan ibu." Air mata Angin masih menetes. Dan Rindu hanya membisu dalam gamang, kemudian pergi meninggalkan Angin seorang diri.

Tiga jam lagi pesawat yang akan membawa Rindu akan terbang. Angin masih menimang-nimang apakah dia perlu melepasnya atau tidak. Detik demi detik terasa menyiksa.

Angin bergegas mandi dan memakai pakaian terbaiknya. Tanpa membuang waktu, ia berlari mengejar bus yang akan membawanya ke bandara. Perjalanannya tidaklah semulus harapan. Berkali-kali dia terjebak macet.

Akhirnya bus sampai di bandara. Rasanya Angin ingin langsung meloncat turun saja. Bus bandara berhenti di terminal E. Ia berlari menyusuri selasar bandara.

Matanya melihat ke layar monitor. Status pesawat CX720 departed. Ia menggigit bibir. Bulir-bulir air matanya membasahi pipi. Ia menyeka air mata. Dalam hati dia berkata.

"Tapi bagaimana lagi jika Tuhan menghendakinya. Sedemikian kuat cintaku padamu, tidak akan pernah bisa menahanmu. Lagipula aku bukan siapa-siapa, hanya muridmu. Pergilah ibu guru Rindu jika ini membuat kau bahagia. Meski sebenarnya kehilanganmu adalah hal yang mengerikan. Tetapi kebahagiaanmu lebih dari segalanya buatku. Anggap saja aku angin lalu, yang tak pernah dianggap ada tapi senantiasa berhembus mengiringi kemanapun kakimu melangkah". Angin berusaha sekuat mungkin menahan tangis.

"Selamat tinggal Rindu, semoga kita bisa bertemu kembali saat aku sudah sesukses kamu."

Angin berbalik menuju pintu keluar. Melangkah gontai meninggalkan bandara yang telah 'menelan' Rindu dari hidupnya. 

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang