33

364 24 0
                                    


Sebenarnya pagi-pagi sekali saat azan Subuh berkumandang, Rindu sudah bangun untuk menunaikan shalat Subuh. Namun kemudian Rindu malah memutuskan untuk melanjutkan tidurnya yang kurang dari lima jam.

Sedang asyik-asyiknya memasang kuda-kuda untuk kembali terlelap di alam mimpi. Tiba-tiba suara dering ponsel tanda sms masuk berbunyi terdengar. Suaranya yang memekakkan telinga, membuat Rindu terjaga dengan kaget. Semalam Rindu lupa mematikan ponsel. Parahnya volume nada dering adalah maksimal.

"Huh! Mengganggu tidurku saja." Rindu mendengus.

Dengan malas Rindu menggerakkan tangan kirinya untuk meraba-raba mencari letak keberadaan ponselnya. Matanya sambil tetap terpejam dan dalam posisi menelungkup. Seakan tidak mau rugi kehilangan sedetikpun waktu tidurnya.

Akhirnya Rindu mendapatkannya juga. Ponsel itu ternyata terselip berada di bawah bantal. Rindu merogoh ponselnya tergesa-gesa. Setelah dapat, masih dengan setengah hati, Rindu memindahkan ponsel itu dari tangan kiri ke tangan kanan. Agar ia bisa dengan mudah membacanya.

Rindu menekan salah satu tombol ponsel dengan jarinya. Lampu pada layar ponselnya pun menyala. Kemudian baru meletakkan di telinganya tanpa melihat siapa si penelepon.

"Assalamualaikum....Rindu..." Suara di ujung telpon sana.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...." Jawab Rindu malas.

"Rindu..."

"Siapa ya...?" Rindu masih belum mengenali suara eyang ti ibunya.

"Ini ibu..."

"Loh ibu...apa kabar?" Rindu pun segera bangkit dari tidur dan terduduk di ranjang, menyadari yang menelepon adalah sang ibu.

"Ibu sudah di bawah ini. Buka pintunya dong..."

"Oh iya sebentar bu..." Rindu pun segera loncat dari ranjang dan setengah berlari menuruni tangga untuk menemui sang ibu.

Rindu membuka pintu, "Ibu kangen...." Rindu memeluk sang ibu. Ibunya pun membalas pelukan Rindu.

"Baik-baik kamu Nak?" Eyang Ti sambil melepaskan pelukannya.

"Alhamdulillah...!" Jawab Rindu sembari tersenyum. Rindu melihat sang ayah di belakang. Rindu pun beralih ke ayahnya.

Rindu mencium tangan ayahnya baru kemudian memeluknya. "Ayah..."

"Sehat?"

"Alhamdulillah Ayah..." Rindu tersenyum.

"Baru bangun kamu? Eyang Ti sembari masuk ke dalam rumah. Sambil diikuti oleh Rindu dan Eyang Kung.

"Sudah dari Subuh, ini baru mau tidur lagi..."

"Sudah makan?"

"Ya belum dong bu...."

"Jangan-jangan dari semalam belum makan." Kini giliran Eyang Kung.

" Semalam makan kok..."

"Mie instan?"

Rindu terkikik geli, "Kok tahu?"

"Tahu lah...."

"Oalah nduk... Ini ibu bawa nasi soto ayam. Sarapan dulu sana...!"

"Alhamdulillah! Pucuk dicinta ulam tiba. Kebetulan nih aku lapar" Rindu menyambar bungkusan dari tangan ibunya dan bergegas ke dapur.

Tanpa minta izin lagi. Eyang Kung pun segera duduk di karpet ruang tamu. Matanya memandang menyelidik, melihat ruang tamu yang lebih mirip ruang belajar anak-anak itu.

Sedang Eyang Ti, menyusul Rindu ke ruang tamu untuk membawa oleh-oleh aneka makanan dan camilan untuk Rindu.

"Ibu sudah makan?" Rindu sedang mencicipi kuah sotonya duduk di pojok dapur..

"Sudah, tadi makan soto langsung di warungnya..."

"Hem enak! Terima kasih ibu..." Rindu sambil menyesap kuah soto.

"Iya enak...seger. Itu ayahmu sampai nambah tadi!"

"Iya sedep..." Rindu melahap sotonya dengan lahap.

"Loh kamu jarang makan ya?" Eyang Ti berseru saat melihat beras yang masih banyak di tempat penyimpanan.

"Kenapa memang?"

"Ini beras masih utuh..."

"Ahhh makan kok...Itu kan memang baru beli dua hari lalu."

"Ohh kirain kamu gak makan...karena gak ada Mbok Nah." Eyang Ti sambil membenahi oleh-oleh di tempatnya.

Setelah beres, Eyang Ti duduk di depan Rindu. "Jadi kamu tidak mau pulang?"

Rindu menggeleng kemudian kembali menyendok sotonya dan mengunyah perlahan.

"Kamu gak kesepian tanpa Mbok Nah?"

Rindu menggeleng sambil tersenyum.

"Beneran loh ini...kamu boleh pulang kapan saja loh kalau kamu mau." Tawan Eyang Ti.

"Tidak ibu! Rindu sudah betah di sini."

"Hemmm..." Eyang Ti berdehem.

"Iya... Rindu tidak kesepian lagi di sini. Walau Mbok Nah pergi. Tetapi Rindu ada anak-anak."

"Murid mengaji yang kamu ceritakan itu?"

"Iya..."

"Ada berapa sekarang muridnya?"

"Ada dua puluh sepertinya."

"Wow....banyak."

"Alhamdulillah..." Mata Rindu berbinar-binar.

"Barakallah. Ibu senang mengetahuinya."

Rindu memandang ibunya sambil tersenyum. Kemudian melanjutkan makannya. Tingga; sesuap terakhir. Dan akhirnya sepiring nasi dan semangkuk soto ayam bening tandas oleh Rindu yang kelaparan.

"Alhamdulillah..." Rindu menyilangkan sendok dan garpu di tengah piringnya.

"Terima kasih ibu..." Rindu lagi sambil tersenyum. Eyang Ti hanya mengangguk.

"Ohya mungkin bulan depan, Steve dan Bara akan pulang ke Indonesia..." Eyang Ti tiba-tiba.

"Steve? Bara?" Dahi Rindu berkernyit sambil menatap ibunya dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Iya Steve dan Bara..."

"Siapa?" Rindu menatap Eyang Ti dengan pandangan menyelidik. Eyang Ti pun tersadar kalau ingatan Rindu masih belum pylih semenjak kecelakaan setahun lalu.

"Ah lupakan..." Eyang Ti. Dalam hati Eyang Ti, percuma dijelaskan panjang lebar, toh Rindu tak akan mengingatnya. Namun Rindu masih penasaran.

"Jadi kamu mengajar setiap hari?" Eyang Ti mengalihkan topik bahasan.

"Mmmhhh enggak. Hanya Senin sampai Jumat, selepas maghrib."

"Dua puluh anak?" Eyang Ti dengan pandangan setengah tak percaya.

"Iya..." Rindu antusias.

"Rumahnya sekitar sini?"

"Iya...ada juga yang di seberang sungai sana..."

Setelah itu, anak beranak itu mengobrol panjang lebar hingga senja. Obrolan hanya berhenti sejenak saat shalat Dzuhur dan Ashar. Kemudian obrolan kembali bersambung. Bahkan sang ayah juga ikut berbincang.

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang