Suatu hari, Rindu sedang berjalan sendiri menuju rumah peristirahatannya setelah berkeliling kampung. Siang itu sangat terik. Dan Rindu tidak terbiasa membawa payung. Rindu nyaris terhuyung-huyung karena pusing. Sengaja Rindu mempercepat langkahnya. Dengan bulir keringat yang terus-menerus membasahi wajahnya.
Keadaan Rindu cukup payah kala itu. Namun Rindu tetap memaksakan diri untuk menebar senyum kepada orang kampung yang ditemuinya. Apalagi Rindu orang baru di Kampung Sukabakti. Tak banyak orang yang dikenal.
Sesekali Rindu menyapa ramah penuh basa-basi. Sambil sesekali menyeka bulir-bulir keringat yang berlelehan di wajah dengan ujung hijab. Berkali-kali Rindu mengibas-ngibaskan gamis hitam yang sudah kuyup oleh keringat. Lumayan, sedikit angin sepoi-sepoi memberi sebentuk kenyamanan yang sungguh berarti.
Kerongkongan Rindu pun tercekat oleh haus. Tetapi Rindu tidak mau menambah waktu dengan berkeliaran di jalan yang terik ini untuk membeli segelas es. Sekali pun Rindu membutuhkannya. Rindu hanya ingin lekas pulang dan segera melepas hijab dan gamis yang membalut tubuhnya. Perkara minum, Rindu punya persediaan air putih dingin di kulkas. Itu sudah lebih dari cukup untuk membasahi kerongkongan.
Berjalan sendiri, membuat Rindu lebih waspada. Tiba-tiba sukma Rindu membisikkan sesuatu ke dalam batin, bahwa ada yang mengawasi dari arah belakang. Rindu pun terkesiap dan segera menoleh. Di arah jam empat sekitar lima belas meter di belakang.
Sekelompok anak-anak bocah memandang dari kejauhan. Sesekali berbisik-bisik kepada teman sebayanya. Mereka adalah bocah laki-laki dan perempuan berusia lima hingga sebelas tahun. Matanya yang polos menguliti Rindu dari ujung rambut hingga ujung kaki untuk memuaskan rasa keingintahuannya.
Mereka bocah-bocah yang bertelanjang kaki. Walau beberapa sudah terlihat bersih dan bersandal jepit pula. Mereka bersepuluh. Rindu menyadari kalau sudah hampir sepanjang perjalanan mereka membuntutinya. Tidak nyata-nyata di belakang Rindu seperti bayangan memang. Hanya mengikuti dan mengambil tempat ternyaman untuk memantau Rindu. Sekitar lima belas meter atau malah lebih dekat lagi.
Rindu pun menebarkan senyum terindah. Itu pun sudah membuat mereka tersenyum salah tingkah. Beberapa malah memilih untuk menundukkan kepala. Atau malah pura-pura bercanda dengan yang lainnya.
Rindu pun segera berlalu dan melanjutkan perjalanan, namun Rindu tetap waspada. Arah sinar matahari yang tegak lurus dengan dirinya membuat Rindu kesulitan melihat bayangan para penguntit. Namun Rindu tahu mereka masih mengikutinya. Rindu menoleh lagi dan menebar senyum. Saat itu juga mereka terlihat grogi dan salah tingkah. Rindu kembali melanjutkan perjalanan, namun dengan langkah yang lebih cepat setengah berlari. Rindu ingin membuat para penguntitnya kepayahan mengejarnya.
Rindu mempercepat larinya, ketika ia hampir mendekati rumah. Posisi yang menikung dan terlindung dari pandangan memudahkan Rindu untuk bersembunyi.
"Kakak itu kemana?" suara bocah laki-laki.
"Tau deh...!" Hampir serempak beberapa bocah laki-laki dan perempuan.
"Tadi gue liat dia kesana!", suara bocah perempuan.
"Kemana?" bocah laki-laki.
"Kesitu, belok"
"Iya belok"
Dari tempat persembunyiannya, Rindu tertawa cekikikan melihat mereka kebingungan karena kehilangan buruannya. Rindu berhasil mengelabui mereka. Kini giliran Rindu yang memantau mereka.
"Iya........kesana aja belok", bocah perempuan dengan logat Betawi yang kentara menunjuk-nunjuk ke arah persembunyian Rindu di balik tembok.
"Ayok!" ajak bocah lelaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...