Dua hari setelah kejadian itu. Rindu kembali mengajar di Rumah Quran Ar Rahman seperti biasa. Namun kali ini, Rindu tak datang sendirian. Rindu datang dengan memboyong Steve dan Bara. Steve dan Bara dengan sabar menanti Rindu mengajar. Bahkan Bara dengan cepat akrab dengan murid-murid Rindu
Hingga suatu hari, Rindu akhirnya harus mengumumkan suatu keputusan terberat dalam hidupnya. Seiring dengan telah berakhirnya izin cuti di luar tanggungan Steve yang cuma tiga bulan itu.
"Anak-anakku sekalian....Hari ini saya hendak menyampaikan sebuah pengumuman penting." Rindu menghela nafas yang terasa berat. Suasana Rumah Quran Ar Rahman yang ramai jelang makan siang bersama di hari Minggu mendadak berubah hening. Seluruh pasang mata menatap Rindu.
Rindu menatap wajah murid-muridnya satu persatu. Kemudian ia memejamkan mata. Dalam hati ia berdoa agar air matanya tak segera tumpah. Rindu membuka matanya perlahan. Ia kembali menghela nafasnya yang berat. Matanya mulai memerah, dengan bulir bening yang mulai memenuhi matanya yang terhalang kaca mata.
"Hari ini adalah hari terakhir saya mengajar di sini." Nafas Rindu terkecat.
"Ha?!?" Anak-anak kaget, mereka saling berpandangan.
"Kenapa bu?" Tanya Najwa. Rindu menatap Najwa. Tanggul pertahanan Rindu mulai jebol, bulir bening air matanya mulai menetes.
"Saya...." Rindu tak kuat melanjutkannya.
"Ibu kenapa?" Tanya Sakti. Angin yang duduk di pojokan terlihat tegang, ia takut apa yang dibayangkan sebelumnya bakal segera terjadi. Rindu pergi untuk selama-lamanya meninggalkan Kampung Sukabakti. Dan mungkin Angin tak akan pernah melihat Rindu lagi.
"Saya akan pulang ke Amerika lusa." Tangis Rindu pun pecah. Ia mulai sesenggukan.
"Apa?" Suara anak-anak terdengar panik. Satu persatu anak mulai menangis. Tak hanya anak-anak, tetapi juga santri ibu-ibu, Lisda, Pak Sobari, bahkan engkong Ali menangis.
"Kenapa?" Tanya Ica sambil sesenggukan.
"Ibu sudah tak sayang kami lagi?" Tanya Safiga.
Mata Angin sudah basah dan dia sesenggukan di pojokan.
Rindu menggelengkan kepalanya, air matanya bercucuran, "Saya masih sayang dengan kalian. Kalau boleh memilih saya tidak akan pernah pergi meninggalkan kalian. Saya dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit, buah simalakama. Memilih kalian atau keluar kecil saya. Keduanya sama-sama berharga. Tetapi saya harus memilih."
Beberapa anak menangis histeris.
"Tak ada yang abadi di dunia ini. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Itu sudah hukum alam."
"Tidak ada yang mengundang saya ke kampung ini dahulu. Allah yang mengirim saya kesini, menakdirkan saya bertemu dengan kalian untuk melewati masa-masa sulit saya. Kemudian Allah menautkan hati kita. Dan kalau akhirnya kita harus berpisah itu sudah takdir Allah."
"Saya harap, ada dan tak ada saya di sini. Semangat kalian untuk mengaji tidak pernah pupus. Insya Allah suatu hari nanti kita akan ketemu lagi di sini, di belahan bumi lain atau di surga. Kalau kalian masuk surga dan tidak menemukan saya di sana. Tolong tanyakan saya kepada Allah. Bilang Allah, kalau dulu kita pernah bersama-sama di Rumah Quran Ar Rahman."
"Kenapa mendadak?" Tanya Putera.
"Sebenarnya rencana ini tidak mendadak. Hanya saja saya tidak punya nyali untuk mengatakan hal ini dari jauh hari."
Anak-anak masih sesenggukan. Tiba-tiba, Rindu melihat sekelebat sosok Angin yang menangis histeris di bangku belakang. Rindu menghampiri Angin, murid kesayangannya itu.
"Laki-laki tak boleh menangis!" Tegur Rindu.
"Sesekali boleh..." buru-buru Rindu meralat.
"Tetapi laki-laki harus lebih tegar daripada perempuan. Usap air matamu Angin!" Tetapi Angin hanya menunduk, sambil bahunya berguncang menahan tangis. Pipinya basah.
"Setiap pertemuan ada perpisahan. Tidak ada yang abadi di dunia ini, Angin. Itu sudah ketetapan Allah."
"Apa ibu sudah tidak sayang lagi pada kami?" Mata Angin yang basah oleh air mata memberanikan menatap Rindu.
"Saya sayang kalian. Sampai kapanpun kalian akan tetap ada di hati saya, dimanapun saya berada." Suara Rindu tercekat.
"Bohong! Ibu tidak sayang kami. Kalau sayang...ibu tidak akan pernah pergi meninggalkan saya dan teman-teman." Tangis Angin meledak.
"Berhenti Angin!" Percuma, tangis Angin malah makin keras.
"Berhenti kubilang!" Rindu membentak. Tangis Angin mulai mereda.
"Dengarkan saya! Saya sudah lama meninggalkan keluarga kecil saya. Kamu tahu betapa saya sangat mencintai mereka lebih dari apapun juga. Begitu pun saya sangat mencintai kamu dan yang lainnya. Tapi saya harus memilih."
"Mengapa? Tak bisakah ibu tinggal di sini bersama keluarga kecil ibu. Agar kami tak perlu kehilangan ibu." Air mata Angin masih menetes. Dan Rindu hanya membisu dalam gamang, kemudian pergi meninggalkan Angin.
Saat Rindu berjalan meninggalkan Angin. Angin berlari meninggalkan halaman Rumah Quran Ar Rahman. Beberapa anak yang berada di belakang memandangi Angin yang berlari.
"Angin!" Anak-anak berteriak memanggil Angin. Rindu menoleh melihat Angin yang berlari meninggalkan halaman Rumah Quran Ar Rahman.
"Angin! Angin! Tunggu!" Teriak Rindu. Namun Angin tidak menggubrisnya. Rindu pun berlari mengejar Angin, meninggalkan anak-anak.
Dengan mata sembab, Pak Sobari pun mengambil alih anak-anak. Meski hatinya juga hancur membayangkan Rumah Quran Ar Rahman akan bubar, namun ia harus membesarkan hati anak-anak.
"Angin! Tunggu saya!" Nafas Rindu tersengal-sengal mengejar Angin. Angin terus berlari tidak mempedulikan Rindu. Hingga Angin lenyap dari pandangan Rindu.
Meski Angin lenyap, namun Rindu tetap mengejarnya. Rindu yakin, Angin pasti sedang menyendiri di tepi sungai dimana ia biasa menyendiri saat galau. Makanya Rindu berlari ke sana.
Dan benar saja, sampai di sana. Rindu melihat sesosok Angin yang sedang duduk meringkuk di tepi sungai. Ia menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, seperti hendak menyembunyikan tangisannya.
Rindu menghampiri Angin perlahan. Tangan kiri Rindu pun perlahan menyentuh bahu kanan Angin. Angin terkesiap menyadari ada orang yang menyentuh bahunya. Angin mendongak demi melihat siapakah orang itu.
"Boleh saya duduk di dekatmu." Tanya Rindu sambil tersenyum.
Angin mengangguk sambil tangannya sibuk menghapus air mata yang berlelehan. Kemudian keduanya diam membisu menatap gemericik air sungai di depan mereka.
"Terima kasih telah menjadi bagian dari episode terbaik dalam hidup saya." Lirih Rindu memecah keheningan.
"Saya tidak pernah menyangka, bakal ada di episode ini. Terdampar di Kampung Sukabakti, bertemu kamu dan anak-anak lain. Menjadi guru ngaji di Rumah Quran Ar Rahman."
Angin masih terdiam sambil sesenggukan.
"Kapan ibu berangkat?" Tanya Angin tanpa menatap Rindu.
"Lusa, hari Selasa jam 2 siang. Singapore Airlines." Jawab Rindu.
Mereka lama terdiam.
"Jadi Ibu tak akan kembali lagi?"
"Insya Allah suatu hari nanti. Kapan tepatnya, saya tidak tahu."
"Bu..."
"Iya Angin...."
"Saya sayang ibu...." Angin menunduk. Rindu tersenyum.
"Saya pun menyayangi kamu karena Allah. Begitupun pada anak-anak lain.".
Angin memeluk Rindu sambil sesenggukan. Rindu kaget. Buru-buru Rindu menyingkir dari Angin. Angin, bocah tiga belas tahun itu menyadari kekeliruannya.
"Astaghfirullahaladzhim...Maafkan saya ibu..." Mata Angin menatap Rindu dengan pandangan takut. Angin kembali menangis.
"Hapus air matamu! Laki-laki tidak boleh menangis!" Rindu sambil beranjak pergi meninggalkan Angin sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...