Hari semakin siang. Namun matahari yang seharusnya makin perkasa malah meredup.
Sepasang mata Rindu menatap awan yang berarak diatas sana, berharap menemukan rasa lega bersamaan dengan angin yang tidak hanya menyentuh kulit lembutnya namun juga menyusup masuk kedalam sudut hatinya. Awan-awan itu tidak lagi hanya berwarna putih, langit pun memudarkan birunya, dia berubah gelap.
"Sudah siap Rindu?" Tanya Eyang ti. Rindu mengangguk cepat.
"Ayok sebelum hujan deras dan macet..." Eyang ti menggandeng tangan Rindu sebelum beranjak pergi. Rindu pun pasrah, dia mengikuti perempuan lewat setengah abad itu masuk ke dalam mobil.
Rindu duduk bersebelahan dengan Eyang ti di bangku ke dua. Di bangku depan sudah ada pak sopir dan Eyang kung. Sedang di belakang ada Mbok Nah., pembantu rumah tangga yang sudah bekerja di rumah keluarga Rindu bertahun-tahun. Bahkan sejak Rindu masih kecil.
Tanpa menunggu lama. Sesaat setelah Rindu duduk, mobil van berwarna putih milik Eyang kung, ayah Rindu pun segera pergi meninggalkan halaman rumah keluarga Rindu.
Sepanjang perjalanan, Rindu terdiam seribu bahasa. Mata Rindu asyik menatap ke luar jendela kaca mobil. Menatap satu persatu bulir hujan yang mulai jatuh membasahi bumi. Dan seperti biasa, laju kendaraan di jalanan ibu kota mulai melambat. Jalanan yang semula tampak lengang memadat. Macet dan hujan!
Entah mengapa, Rindu selalu menikmati pemandangan saat hujan tiba. Langit yang menggelap jelang hujan menjadi pemandangan eksotis bagi Rindu. Rindu pun menggilai aroma petrichor saat hujan tiba. Selalu ada damai yang menyeruak di dada kala hujan tiba. Meski suara petir yang menggelegar terkadang membuat kecut. Dan pelangi menjadi salam perpisahan terindah selepas hujan.
Bagi Rindu, kerinduan dan kebijaksanaan bisa datang dari derasnya hujan yang mengalir membasahi bumi. Seberapa sering pun hujan jatuh, ia pasti kembali lagi untuk menghidupkan bumi yang kering kerontang.
Hujan mengajarkan arti keikhlasan. Hujan juga mengajarkan makna perjuangan. Tentang orang-orang yang berjuang dengan ikhlas, yang takkan pernah berhenti meski terjatuh berkali-kali, layaknya air hujan yang senantiasa kembali dan membumi.
Rindu menggilai hujan layaknya seorang Pluviophile sejati. Kalau saja Rindu tak ingat dia adalah perempuan dewasa, maka dia sudah berlarian sambil menari-nari di tengah derasnya hujan. Membiarkan air hujan membuatnya kuyup dan menggigil kedinginan. Tak peduli pada tatapan heran orang-orang.
Setelah menempuh perjalanan panjang yang berkelok-kelok melintasi persawahan dan perbukitan. Tiba-tiba, mobil yang ditumpangi Rindu berhenti. Di kirinya, di seberang halaman rumput terawatt yang dari jalan dan menampakkan pinggiran halaman berbatu putih bersih, berdiri rumah bercat putih dan berlantai dua dengan ukuran dan keelokan yang unik untuk daerah itu.
"Kita sudah sampai!" Suara Eyang Ti menyadarkan lamunan Rindu yang sedang asyik memandangi rumah bercat putih suram.
"Sampai?" Rindu menatap Eyang Ti.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...