Malam kian larut. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Halimah masih juga belum keluar dari rumah besar itu. Padahal orang-orang sudah mulai meninggalkan rumah itu sejak pukul sepuluh malam tadi. Namun Halimah belum juga keluar.
Hendri makin gelisah. Berulang kali ia melirik jam tangannya sambil mondar-mandir dan melongok ke dalam gerbang rumah besar itu. Ia mencoba menelpon Halimah namun ponsel Halimah sepertinya tidak aktif.
"Halimah kamu dimana?"
Tiba-tiba Hendri mendengar suara teriakan Halimah dari dalam gerbang. Hendri berjalan menghampiri gerbang dan melongok ke dalam. Ia melihat Halimah berlari sekencang-kencangnya sambil menenteng sepatu berhak tingginya. Rambutnya acak-acakan.
"Halimah....!" Teriak Hendri dari luar gerbang sambil berupaya mendorong gerbang.
Halimah mencari arah suara, dia tak percaya kalau Hendri masih setia menunggunya di luar gerbang. Halimah berlari menuju gerbang menghampiri Hendri yang sedang berupaya membuka gerbang. Gerbang terbuka, tangan kanan Halimah segera menggamit Hendri dan mengajaknya berlari bersama untuk bersembunyi.
Sampai akhirnya Halimah dan Hendri berada di tempat yang cukup aman. Halimah yang masih terengah-engah berupaya mengatur nafasnya.
"Kau masih di sini?" Tanya Halimah pada Hendri.
Pertanyaan bodoh macam apa itu?
Sudah jelas Hendri menunggu Halimah berjam-jam tanpa beranjak dari tempat itu. Ia sengaja menanti kepulangan wanita itu, karena ia khawatir. Dan lagi, rasa kantuk yang melelahkan tubuh Hendri berhasil membuatnya tertidur untuk beberapa saat didalam mobilnya di bawah pohon sambil menunggu Halimah. Hendri enggan masuk ke dalam rumah besar milik Randy.
"Ya, aku menunggumu seperti orang bodoh, Halimah." Kenyataannya Hendri hampir tidak tidur meski rasa kantuk menghampirinya.
"Apa saja yang kau lakukan di dalam hingga berjam-jam?"
"Bahkan kau belum juga pulang saat para tamu sudah pulang?" Hendri emosi.
Kalau bukan cinta, mana mungkin Hendri mau mengunggui Halimah berjam-jam di luar gerbang hanya karena khawatir. Hendri makin khawatr ketika hampir tengah malam, Halimah belum juga keluar. Ponselnya pun mati.
Halimah hanya terdiam ditempatnya. Wanita itu sama sekali tak membuka suaranya setelah Hendri mengatakan hal itu. ia tak tahu pria ini mau menunggu selama delapan jam. Waktu itu bukanlah waktu yang singkat hanya untuk menunggu orang sepertinya. Hendri seharusnya bisa bergelung nyaman saat ini diatas tempat tidurnya, atau sekedar menonton acara televisi yang dapat menyenangkan hati.
Pandangannya terangkat. Ia berusaha mencari kebohongan yang tampak pada kilatan mata pria itu. Ia mencari dimana letak kedustaan yang dikatakan oleh pria itu. Namun, ia tak menemukan apapun disana selain kekesalan yang memumpuk. Ia tahu dirinya telah membuat pria itu merasa kesal. Setelah lama menunggunya dan langsung mendapatkan sikap ketusnya, pasti Hendri muak kepadanya. Meski ia menginginkan kebencian pria itu kepadanya timbul, tapi Halimah tak menapik ia sendiri takut merasakannya. Ia tak mau Hendri membencinya. Tapi, itulah satu-satunya cara untuk menjauhkan dirinya dari pria itu.
"Kenapa kau menungguku? Kau seharusnya berada diatas tempat tidurmu yang nyaman, bergelung didalam selimut yang hangat, serta bisa menikmati hidupmu lebih baik dari pada aku. Kenapa?" Suara Halimah parau, sarat akan keputusasaan. Ia membutuhkan jawaban pria itu. Ia ingin mendengar sekaligus tak ingin mendengar ucapan yang akan dilontarkan dari bibir tipis milik Hendri. Ia sungguh tak berharap lelaki itu lekas pergi dari kehidupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...