106 (The End)

1K 33 3
                                    


Sepuluh tahun kemudian

Seperti biasa, sepanjang siang sambil menunggu Bara yang sudah SMA dan Musa adiknya yang masih di SD pulang sekolah. Rindu sedang mengetik di balkon rumahnya di Queens New York.

Sejak kembali ke New York sepuluh tahun lalu, Rindu memang kembali menulis di sela-sela kesibukannya mengurus dua anaknya dan mengajar mengaji di Masjid Al Hikmah New York. Karena kesibukannya itu pula, ia tak pernah lagi mengunjungi Kampung Sukabakti. Pasalnya terkadang, jadwal cutinya atau suaminya terlalu pendek untuk bisa mengunjungi banyak tempat selain mengunjungi orang tuanya di Jakarta dan saudara-saudaranya di Bogor dan Yogya. Meski begitu, kenangan akan Rumah Quran Ar Rahman dan Kampung Sukabakti tetap ada di dalam hatinya.

Tetiba, pintu rumahnya diketuk seseorang. Rindu berteriak dari atas balkon.

"Wait a minute sir! I'll go down."

Rindu segera menyambar hijab panjangnya dan turun ke bawah menemui orang yang mengetuk pintunya.

"Paket...." Lelaki bertubuh gempal itu menyerahkan sebuah paket yang terbungkus amplop cokelat berukuran sedang.

Rindu mengambil paketnya. Lelaki bertubuh gempal itu menyodorkan tablet layar sentuh kepada Rindu untuk ditandatangani. Dengan cekatan Rindu menandatangani form elektronik di tablet itu dengan jari telunjuk kanannya.

Lelaki itu mengangguk.

"Thank you...." Ujar Rindu.

"You are welcome!" Jawab lelaki itu sebelum pergi meninggalkan Rindu. Rindu lekas menutup pintunya dia membaca ada nama Angin Topan sebagai pengirimnya. Rindu terhenyak. Ia penasaran, dan buru-buru membuka isi paket itu.

Isinya ternyata sebuah buku tebal dan sebuah surat. Rindu membaca sekilas buku tebal yang ternyata novel berjudul "Semilir Angin Rindu" karangan.

"Angin Topan!" Rindu nyaris berteriak.

"Masya Allah...." Rindu tersenyum bangga.

Setelah membuka-buka sejenak. Kini perhatian Rindu beralih pada kertas putih yang terlipat tiga. Rindu membuka lipatannya dan yah benar dugaan Rindu. Itu adalah sebuah surat.

Rindu mulai membaca surat itu,

Kampung Sukabakti, 11 Januari 2028

Kepada yang terhormat,

Ibu Rindu

Di tempat

Assalamualaikum Wr. Wb.

Apakabar ibu Rindu? Semoga Ibu dan keluarga selalu dalam lindungan Allah.Semoga Ibu masih ingat saya.

Sebenarnya sudah lama, saya hendak menulis surat ini kepada ibu. Namun, saya menahan diri hingga saya berhasil mempersembahkan sesuatu kepada ibu.

Sepeninggal ibu, kami semua bersedih bu. Kami hampir tidak mampu melanjutkan hari-hari kami tanpa ibu. Rumah Quran Ar Rahman terbengkalai. Tidak ada lagi yang datang mengaji ke sana. Setelah Ustadz Fajar menikah dengan seorang hafizah asal Jepara, ia pindah ke sana. Sedang pak Sobari semakin sibuk.

Akhirnya saya dan Sakti memutuskan untuk masuk pesantren tahfiz. Kami ingin menjadi hafiz agar kelak suatu hari nanti bisa menggandeng orang tua kami dengan bangga ke surga, dan pasti bila kami di surga tak menemukan ibu. Kami yang akan meminta Allah untuk membawa ibu juga yang sudah menginspirasi kami untuk menjadi hafiz.

Kalau Sakti memutuskan untuk melanjutkan studi di pesantren, saya tetap di sekolah umum karena Ayah ingin saya meneruskan jejaknya menjadi tentara. Kami berdua berhasil menjadi hafiz Alhamdulillah.

Sakti baru pulang kuliah S1 di Mesir. Ia dapat beasiswa. Sedang saya kini melanjutkan sekolah calon perwira TNI AD.

Meski saya dan Sakti berbeda jalur, tapi mimpi kami berdua sama. Kami ingin menghidupkan kembali Rumah Quran Ar Rahman di Kampung Sukabakti. Bukan lagi 'nebeng' di rumah keluarga engkong Samid, tapi di lahan sendiri.

Alhamdulillah, hasil royalti novel "Semilir Angin Rindu" ini saya belikan tanah untuk lahan Rumah Quran Ar Rahman. Insya Allah sebentar lagi akan berdiri sekolah tahfiz Rumah Quran Ar Rahman. Sakti dan isterinya yang juga penghafal Quran yang akan mengelola Rumah Quran Ar Rahman.

Mimpinya sih, suatu hari nanti Rumah Quran Ar Rahman bukan hanya sekolah tahfiz tapi juga sekolah Islam yang menggabungkan Ilmu pengetahuan modern dengan Al quran dan Hadits.

Ohya...Teh Lisda, anak engkong Ali sudah menikah dengan orang jawa, dan mereka beroleh tiga orang anak. Halimah akhirnya menikah dengan Hendri, sekarang Halimah sedang hamil anak kedua.

Selain Sakti, masih ada Najwa dan Dinda yang juga jebolan pesantren. Ibu pasti tak percaya bukan kalau Dinda berubah drastis. Dinda termasuk orang yang paling terpukul sejak ibu pergi. Dia juga malah yang pertama kali mantap berhijab sehingga gadis-gadis lain mengikuti jejaknya. Bahkan kini Dinda bangga memakai jubah kebesarannya dengan cadarnya. Sungguh Allah maha pembolak-balik hati.

Ohya bu....Ibu pasti bertanya-tanya, bagaimana saya mendapatkan alamat ibu di New York? Ternyata pemilik penerbitan besar dimana novel saya diterbitkan adalah Pak Widya, adik ibu. Ternyata dunia ini sempit ya bu.

Sudah dulu ya bu! Insya Allah, lain waktu saya sambung lagi. Enjoy my novel! Ditunggu komentarnya.

Kalau ibu tidak berkeberatan, sudikah kiranya ibu datang di seremonial peletakan batu pertama Rumah Quran Ar Rahman pada tanggal 19 Maret 2018 nanti?

Peresmiannya memang sengaja di hari ulang tahun ibu. Karena itu kado istimewa untuk ibu dari kami, murid-murid ibu. Dan saya tahu dari Pak Widya, kalau ibu biasa pulang setiap ulang tahun. Datang ya bu!

Wassalamualaikum Wr. Wb

Angin Topan

Tangis Rindu tumpah seketika setelah membaca sepucuk surat dari Angin. Seseorang yang pernah menoreh kenangan manis yang tak sedetikpun dilupakannya. Angin, Sakti dan seluruh keluarga besar Rumah Quran Ar Rahman memiliki tempat paling istimewa di hati Rindu.

Rindu memeluk novel dan sepucuk surat dari Angin di dadanya. Air mata haru berlelehan membasahi wajah dan hijabnya. Matanya berbinar bangga.

"Dari beribu jenis angin yang ada di bumi, aku tak percaya kau adalah salah satunya, membuatku terbang walau sesaat. Alhamdulillah..." Lirih Rindu.

THE END


Tunggu sebentar pak! Saya akan segera turun.

Terima kasih

Terima kasih kembali.

Nikmati novel saya!

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang