101

375 20 0
                                    

Entah kekuatan darimana, Angin yang kerempeng berhasil mengangkat Rindu seorang diri. Pikir Angin, Ia harus segera mengevakuasi Rindu ke tepi jalan, agar bila rombongan Steve datang bisa segera dibawa ke Puskesmas atau dokter terdekat.

Angin berjalan tertatih-tatih sambil membopong tubuh Rindu melintasi perkebunan teh ditemani gerimis yang belum juga mereda. Sampai di pinggir jalan yang kelak akan dilalui oleh rombongan Steve. Angin menjatuhkan diri karena lelah, sambil tetap membopong Rindu.

Kini ia duduk di tanah merah yang becek tepat di sisi kanan jalan, sambil memangku kepala Rindu. Ia merogoh kembali ponselnya demi mengecek sampai dimanakah rombongan Steve.

Terlihat posisi Angin dan Steve hanya terpisah kurang dari 50 meter. Hati Angin sedikit lega mengetahui bala bantuan akan segera tiba. Ia kembali memasukkan ponselnya, kemudian memandangi wajah Rindu yang masih belum sadar juga. Dalam hati Angin berdoa, semoga Rindu hanya pingsan. Tak ada hal buruk yang terjadi.

Tak sampai lima menit, sebuah mobil van berhenti di depannya. Hendri, Pak Sobari dan Steve turun dari mobil dan menghampiri.

Steve yang panik, langsung segera memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Rindu. Wajahnya berubah menjadi jauh lebih tenang saat, denyut nadi Rindu masih normal. Ia segera merebut Rindu dari Angin, berdiri membopongnya masuk ke dalam mobil.

Pak Sobari dengan cekatan membuka pintu mobil bagian tengah agar Steve bisa membopong Rindu ke dalam.Dengan hati-hati, Steve mengatur tubuh Rindu yang pingsan di bangku tengah. Kemudian melompat masuk, duduk sambil memangku kepala Rindu.

Pak Sobari menutup pintu dan dia langsung menutup pintu mobil bagian tengah. Ia sendiri langsung duduk di bangku depan samping pak sopir.

Sebelum menutup pintu Pak Sobari sempat berpesan pada Angin. "Kamu kembali ke vila atau cari tumpangan ke rumah sakit di seberang jalan raya sana. Kita mau kesana untuk mendapatkan pertolongan darurat sebelum ke rumah sakit di kota."

Angin mengangguk. Pak Sobari menutup pintu dan menyuruh Hendri memacu mobilnya. Meninggalkan Angin sendirian di tengah guyuran hujan yang semakin melebat.

Sepanjang perjalanan, mulut Steve komat-kamit berdoa memohon belas kasih Allah untuk menyelamatkan Rindu yang kini sedang tergolek lemah.

" Cepat Hen!" Steve berteriak kepada Hendri agar memacu mobilnya lebih cepat.

Hendri pun ikut panik. Pak Sobari ikut bingung. Mata Steve sudah memerah, wajahnya terlihat kusut, penuh dengan lelehan air mata. Dia tak henti-hentinya berdoa.

"Bertahanlah Rindu...Kumohon bertahanlah!" Bisik Steve dengan nafas tercekat. Tangan kanannya membelai pipi Rindu dengan lembut, bulir air matanya jatuh membasahi wajah Rindu.

Angin sempat gamang, apakah ia berteduh ataukah berlari mengikuti mobil van menuju Rumah sakit terdekat, pasalnya hujan kian lebat. Namun, Angin memutuskan untuk berlari menyusul mobil van.

Angin berlari menembus hujan yang mengguyur deras perkebunan teh. Kakinya menyepak air yang menggenang dan mengganggu larinya. Wajahnya sendu, sesekali ia menyapu sesuatu dari wajahnya. Seluruh badannya basah karena diguyur air hujan. Rambutnya terayun pelan mengikuti gaya ritmis kepalanya yang berusaha menghindar dari air hujan yang menempel di lehernya.

Kadang ia menabrak seseorang, lalu pergi tanpa minta maaf. Malah Angin hampir tertabrak motor yang melaju kalau saja sang pengendara motor tidak segera mengerem.

Pikiran Angin kalut. Ia terlalu khawatir dengan nasib Rindu. Ia takut Rindu tidak hanya pingsan, tetapi ada hal buruk lain yang menyertainya.

Hujan membasahi kepala Angin, membuat giginya bergemeletukan kedinginan. Tapi ia terus berlari menembus hujan deras itu. Tanpa menoleh dengan pandangan lurus ke depan ia pun berbelok ke sebuah bangunan berwarna putih kusam. Ada mobil van yang ditumpangi Steve terparkir di sana. Tanpa membuang waktu, Angin pun segera berlari ke dalam dalam keadaan kuyup.

Hujan masih deras mengguyur di luar. Suara jatuhnya air hujan terdengar keras dalam ruangan itu, tanpa peduli ia menerobos lorong bangunan itu lalu berhenti di depan sebuah kamar di mana Pak Sobari dan Hendri yang sedang berdiri menunggu di depan ruang UGD menatap Angin.

"Bagaimana Ibu Rindu?" Tanya Angin khawatir.

"Tidak tahu, masih diperiksa dokter." Pak Sobari menjawab kekhawatiran Angin. Angin mengintip dengan gelisah ke dalam lewat kaca kecil di pintu ruang UGD.

Hendri dan Pak Sobari duduk di bangku tunggu. Sebenarnya Pak Sobari sudah mengajak Angin untuk duduk bersama mereka. Angin sempat menolak. Ia beralasan bajunya kuyup takut mengotori bangku. Namun akhirnya ia menuruti juga ajakan Pak Sobari dan Hendri.

Angin duduk di bangsal rumah sakit dengan hati gundah. Mukanya terlihat kusut. Matanya sayu dan sembab. Sesekali Angin beranjak dari tempat duduknya dan mengintip dari kaca kecil di pintu ruang UGD untuk melihat kondisi Rindu yang sedang terbaring lemah, dengan selang infus di tangan kirinya, sedang di sisi ranjang ada tubuh kekar Steve yang gelisah. Angin menggigit bibirnya perlahan tak sampai berdarah. Dalam hatinya, Angin tak henti-hentinya berdoa.

Ketika dokter jaga keluar dari UGD. Angin melompat dari bangkunya. Ia segera menghadang sang dokter hanya untuk menanyakan keadaan Rindu.

"Dia sudah sadar dari pingsan" Jawaban dokter itu membuat hati Angin bahagia.

"Alhamdulillah!" Teriak Angin.

"Apa dia baik-baik saja?" Tanya Angin lagi.

"Insya Allah, tapi kami masih pantau takutnya ada gejala gegar otak atau lainnya." Jawab dokter. Hati Angin bungah.

Sang dokter yang terburu-buru, langsung berancang-ancang hendak beranjak pergi.

"Terima kasih dok...." Angin tak lupa mengucapkan terima kasih sebelum sang dokter pergi.

Angin berbalik arah menuju bangku tempat Hendri dan Pak Sobari duduk menunggu. Wajah Angin sumringah.

"Apa kata dokter?" Tanya Pak Sobari.

"Ibu Rindu sudah sadar." Jawab Angin sambil tersenyum.

"Alhamdulillah..." Hendri dan Pak Sobari hampir berbarengan. Wajah mereka berdua keliatan cerah.

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang