Suatu hari Angin yang pendiam, marah besar dengan Dinda. Angin yang sebenarnya cukup sabar dan dewasa meninggalkan rumah Rindu dengan berang sambil memaki Dinda dengan kata kasar. Ia bahkan pergi begitu saja dengan memacu sepedanya tanpa berpamitan dengan Rindu. Mata Dinda memerah, tanggul air matanya pun jebol dan ia menangis sesenggukan. Rindu ternganga dibuatnya. Rindu tidak tahu duduk persoalannya. Bahkan anak-anak lain ikut bengong melihat kejadian itu.
Meski Rindu tahu, Dinda yang banyak bicara sering bermasalah dengan anak-anak lain. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos terkadang perkataannya menyakiti hati lawan bicara. Dan kalau Angin, anak baru yang dewasa dan pendiam itu sampa 'walk out' pasti sudah luar biasa menyakitkannya. Rindu memeluk Dinda. Namun Rindu marah dengan Angin.
Keesokan harinya sebelum kelas mengaji dimulai. Angin menemui saya untuk meminta maaf. Angin menceritakan duduk persoalannya begitupun Dinda. Keduanya sama-sama bersalah dan mereka sepakat untuk berdamai.
Setelah sesi mengaji, Angin melontarkan pertanyaan kepada Rindu, "bolehkah seorang muslim marah?"
"Laa Taghdhob walakal jannatu. Jangan marah! Maka bagimu surga. begitu sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayat kan Imam Bukhari", kata Rindu sebagai permulaan.
"Jadi saya tidak boleh marah dan jengkel?" Angin kebingungan.
"Marah itu manusiawi! Setiap manusia pasti pernah marah", sambung Rindu.
"Lalu apa maksudnya?"
"Ibnu Hajar dalam Fathul Bani menjelaskan makna hadis itu. Menurut AlKhaththabi maksud perkataan Rasulullah SAW 'jangan marah' adalah menjauhi sebab-sebab marah dan hendaknya menjauhi sesuatu yang mengarah kepadanya.Karena marah itu manusiawi maka sebisa mungkin menghindarkan diri dari penyebab amarah."
"Lalu apa yang saya lakukan saat marah?"
"Pastikan kamu punya alasan untuk marah! Punya alasan saja tidak cukup kalau alasannya tidak syar'i misalkan dikit-dikit marah karena baper atau cemburu".
"Lalu?"
"Ucapkan Audzubillahiminassyaiton nirrajiim, aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Biar marahmu tidak kelewat batas!"
"Lalu kalau masih marah bu?" Sakti ikut nimbrung.
"Nabi SAW pernah bersabda, Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring."
Angin tampak bingung, "Lalu apalagi?"
"Masih marah juga ya segera wudhu atau pergi mandi untuk meredakan emosi".
"Lalu apa yang harus saya lakukan bila saya ditonjok orang? Apa saya mesti tahan diri dan pergi wudhu, seperti seorang pengecut yang lari dari medan perang"? Sakti yang pesilat tak tahan untuk ikut bertanya.
Rindu tersenyum, tak menyangka Sakti menanyakan hal itu. Rindu menjawab dengan improvisasi.
"Ya tergantung Sakti, kalau kamu dipukul penjahat ya lebih baik dilawan. Kalau dia orang yang kamu kenal mending mengalah, daripada makin runyam. Siapa tahu dia juga korban karena ketidak-tahuannya akan kamu".
"Ribet sekali jadi muslim", Angin ngedumel.
Rindu tersenyum, "Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang dapat menahan amarahnya, sementara ia dapat meluapkannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan segenap mahluk. Setelah itu, Allah menyuruhnya memilih bidadari surga dan menikahkannya dengan siapa yang ia kehendaki."
"Marah itu manusiawi! Justru kalau tidak pernah marah, lama-lama jiwanya terganggu karena terlalu sering menahan." Rindu lagi.
"Tapi ya kalau bisa Jangan Marah! Hindari potensi marah!"
Rupanya kata-kata RIndu tentang marah terngiang-ngiang terus di telinga Angin. Antara terima dan tidak. Angin ikut menyampaikannya ke orang-orang di dekatnya.
"Jadi bu, saya tetap harus wudhu kalau tiba-tiba dipukul tanpa sebab?" Tanya Angin lagi. Rindu tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomanceHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...