89

282 22 0
                                    


Pemandangan pagi sangat indah ketika burung-burung kecil terbang rendah mencuri buliran padi membelah kabut tipis yang masih enggan pergi. Embun menghiasi dahan-dahan hijau berkilau memantulkan cahaya mentari yang mulai merekah di ufuk.

Angin, Rindu dan Steve berjalan beriringan. Tentu saja ada bule yang berjalan-jalan di kampung mereka adalah sebuah pemandangan langka. Orang-orang yang melihat saling berbisik dan melempar pandang. Bertanya-tanya, siapakah bule yang berjalan bersama Rindu dan Angin.

"Oh jadi ini yang buat kamu gak mau pulang ke rumah...." Celetuk Steve ketika memasuki area persawahan di Kampung Sukabakti. Rindu diam saja.

Steve, Rindu dan Angin mulai memasuki persawahan. Berjalan pelan menyisir pinggiran jalan, aliran air di selokan kecil mengular menuju petak-petak sawah. Beningnya memancarkan kesegaran. Di sisi kanan dan kiri jalan bunga-bunga liar pun bermekaran memberi warna kontras terhadap hijaunya rumput. Sejuknya pagi semakin menyentuh berkat kabut yang masih menggantung menyisakan butiran-butiran embun di ujung daun.

Angin memarkir sepedanya di pinggir sawah. Ia sengaja duduk pinggir sawah sambil melipat kaki, menghela nafas di pagi yang sejuk. Rindu menghampiri dan duduk di dekat Angin.

"Kalau sedang sendiri, saya suka duduk di sini. Rasanya menyenangkan sekali melihat orang-orang memulai harinya dengan bersepeda melintasi setapak di tengah sawah sambil membawa alat-alat bertani."

Rindu mendengarkannya dengan seksama.

"Wajah-wajah mereka terlihat hangat seolah tak mengenal beratnya kehidupan yang sering orang keluhkan." Sambung Angin.

Steve mengamati Angin dan Rindu. Akhirnya dia pun menyusul duduk di dekat Angn dan Rindu.

"Kamu tinggal dimana?" Tanya Steve pada Angin.

"Disana!" Angin menunjuk ke satu arah. Pandangan Steve mengikuti kemana arah Angin menunjuk.

"Oh...." Komentar Steve pendek.

Puas duduk di pinggir sawah. Rindu beranjak menapaki pematang-pematang sawah untuk mendekat ke arah petani. Melihat ada seorang gadis bergamis dan berhijab panjang berjingkat menapaki pematang sawah yang becek. Seorang petani menegur, "hati-hati jatuh..."

Angin sigap mendekati Rindu untuk berjaga-jaga. Steve mengikuti dari belakang.

Ketika Rindu hendak menyeberangi aliran sungai untuk pengairan sawah selebar dua meter melalui jembatan setapak dari batang pohon kelapa. Angin buru-buru berlari mendahuli Rindu. Sedang Steve masih asyik mengamati sekitar.

Angin menyeberang terlebih dahulu. Rindu agak ragu, ia pun melepas sendalnya dan memilih untuk menentengnya.

Angin mengulurkan tangan kirinya kepada Rindu sambil memiringkan sedikit badannya untuk menjaga keseimbangan. Rindu yang masih berupaya untuk memulai langkah pertamanya di jembatan itu malah jadi terpana dibuatnya.

" Ayo....pegang tangan saya!" Angin meyakinkan Rindu dengan tatapannya yang serius. Awalnya Rindu ragu-ragu. Rindu menatap wajah Angin untuk yang kesekian kalinya, dan bocah itu masih dengan tatapan yang serius ingin menolong Rindu. Rindu pun menyerah. Rindu memindahkan sandal di tangan kanannya ke tangan kiri. Ia memasrahkan tangan kanannya meraih uluran tangan Angin. Angin meraih tangan Rindu dengan dada yang berdegup kencang, campuran antara senang dan tak percaya.

" Aaa................!" Teriakan Rindu membahana. Tak hanya Rindu yang terkejut. Steve yang sedang sibuk memotret pemandangan dengan kamera ponselnya pun ikut panik. Ia buru-buru menghampiri Rindi.

Rindu hampir saja melepaskan tangannya lagi karena jengah. Namun ia segera meraih tangan Angin dan tak sengaja melempar sendalnya. Kalau tidak, Rindu akan kehilangan keseimbangan dan hampir terjerembab ke dalam parit sedalam hampir 1.5 meter itu. Namun tangan Angin dengan sigap menangkap tangan Rindu. Dia menuntun Rindu sampai ke tepi dengan hati-hati.

" Hampir saja." Kata-kata pertama Angin saat kami akhirnya berhasil menyeberang. Rindu hanya menyengir untuk menutupi kekagetannya akan tragedi hampir terpeleset.

Sejenak Rindu bersyukur telah selamat, tiba-tiba Rindu tersadar kalau tangan kiri Angin masih memegang erat tangannya. Buru-buru Rindu melepaskan tangannya dari genggaman Angin, " Terima kasih..."

Angin menggangguk dengan canggung.

"Ada apa?" Steve menghampiri Angin dan Rindu. Rindu menatap Steve.

"Sendalku jatuh..." Rindu menunjuk ke arah sendalnya yang hampir hanyut dibawa aliran sungai kecil di bawah. Dengan sigap, Steve segera melompat ke bawah dan meraih sendal Rindu. Ia melompat kembali ke atas.

"Ini..." Steve menyodorkan sandal-sandal itu kepada Rindu.

"Terima kasih..." Rindu tersenyum. Steve membalasnya.

Kemudian ketiganya kembali melanjutkan perjalanan. Meski Steve tahu, Angin bukanlah saingannya. Tetapi ia bisa melihat persis bagaimana bocah ingusan itu begitu mengidolakan Rindu.

Steve tersenyum geli, kalau mengingat saingannya kini bukan lelaki yang sepadan tetapi bocah kampung yang masih bau minyak telon.

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang