81

277 18 0
                                    


Warna jingga mulai berhamburan mewarnai kanvas langit. Angin sore berhembus dengan sejuk. Membawa perdamaian bagi siapapun yang merasakannya. Daun-daun berlambaian-lambaian. Seakan ingin memberitahukan sore hari adalah saat yang menyenangkan.

Rindu merentangkan kedua tangannya. Membiarkan angin sore menghembuskan hijabnya dan melambai-lambaikannya.

Steve mengamatinya dari kejauhan. Ia pun memberanikan diri untuk mendekati Rindu.

"Rindu lagi ngapain?" Tanya seseorang. Rindu menoleh. Ternyata ia adalah Steve, suami yang kini bagaikan oran asing di hadapannya..

Rindu tersenyum malu lalu berkata, "menikmati sore."

Steve menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil tersenyum ia menatap Rindu, "kau tidak berubah..."

Rindu menatap bingung.

"Dahulu sewaktu di New York, kau juga suka menikmati sore di balkon rumah kita, sambil mengetik dan mencecap coklat panas."

Rindu semakin bingung dengan apa yang dikatakan Steve.

"New York? Mengetik? Aku?" Tanya Rindu.

"Iya...kamu adalah penulis terkenal. Rindu Larasati, tulisannya menghiasi kolom New York Times. Beberapa novel kamu pun laris di pasaran."

"Aku?" Rindu menatap bingung seperti tak percaya. Steve mengangguk.

"Ini salah satu bukumu..." Steve menyodorkan buku bersampul merah marun berjudul The Chosen Prince. Rindu agak ragu menerimanya. Namun akhirnya ia ambil juga buku itu.

"The chosen prince..." Rindu mengeja perlahan, kemudian menatap Steve.

"Coba baca nama penulisnya...!"

"Rindu Larasati..." Rindu menatap Steve lagi dengan bingung. Steve mengangguk.

"Namanya sama denganku?"

"Itu kamu..."

"Aku?" Rindu semakin bingung. Steve tak maumemperkeruh suasana.

"Ah sudahlah lupakan! Kau baca saja novel itu."

"Untukku?"

"Kupinjamkan..." Steve tersenyum.

"Terima kasih..." Rindu memeluk buku itu dan tersenyum.

Steve tersenyum penuh kemenangan. Ah akhirnya ia bisa membuat Rindu tersenyum. Skenarionya untuk menaklukkan Rindu berjalan lancar. Steve memang sudah memikirkan rencana itu dari jauh hari. Selama ini, Rindu lupa siapa dirinya. Mungkin dari buku-buku hasil karya Rindu, akan membuat dirinya sedikit demi sedikit mengingat masa lalunya.

Keduanya terdiam, membiarkan hembusan angin membelai lembut wajah mereka. Mereka terpejam merasakan ketenangan yang tersisip di dalam hembusan angin.

Tetiba, ponsel Rindu berbunyi. Rindu meletakkan bukunya di meja, dan ia meraih ponselnya di meja. Sejenak, ia seperti melihat tulisan yang muncul di layar ponsel. Baru kemudian menjawab teleponnya.

"Halloooo...."

"Assalamualaikum bu Rindu, ini Angin...." Suara di ujung telepon sana.

Steve bisa melihat bagaiman mata Rindu berbinar-binar menerima telpon itu.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh...iya...saya tahu."

"Ibu apakabar?"

"Baik, Alhamdulillah...kamu bagaimana sayang....?"

Steve menoleh ke arah Rindu. Steve cemburu. Siapakah gerangan si penelpon yang membuat istrinya bisa terlihat sebahagia itu. Jangan-jangan....

Steve ngeri membayangkan kalau hati isterinya sudah tertambat pada lelaki lain. Gigi Steve gemeratak menahan amarah. Tetapi tentu saja Steve tak boleh marah, kalau tak ingin istrinya yang amnesia itu lari tunggang langgang menjauh darinya. Steve berusaha mengingatkan dirinya kalau saat ini Rindu tak ingat apapun tentang dirinya atau Bara, anaknya.

"Tak terlalu baik...."

"Loh kenapa?"

"Sepertinya saya merindukan ibu...." Angin segera menutup mulutnya. Angin tak menyangka ia bisa berbicara demikian.

Rindu sendiri bingung mendengarnya, namun ia menganggap lalu, "ah ternyata saya juga merindukan kamu dan yang lainnya."

Mata Steve mendelik mendengar itu. Dia menoleh ke arah Rindu dengan kesal. Siapa Angin? Siapa yang lainnya?

"Ibu ada yang mau bicara...."

"Siapa?"

Suara di ujung sana berubah, "ibu kapan pulang?" Suara Sakti yang cempreng terdengar di sana.

"Ibu Rindu....kami kangen...." Kini giliran teriakan Dinda.

"Iya...kami kangen...."

"Ayo pulang ibu...."

"Kapan kita ngaji lagi?" Anak-anak berebut ingin bicara.

"Ibu...ibu...kalau ibu tidak mau pulang, nanti kami jemput." Ancam beberapa anak.

Rindu tersenyum, "saya juga kangen...."

Steve terbakar cemburu, dia menoleh lalu membuang muka. Dia berusaha menyabarkan diri.

"Insya Allah....Ibu akan segera pulang."

"Bener ya bu?" suara anak-anak lain.

Rindu mengangguk sambil tersenyum.

Terdengar suara Angin merebut ponselnya. "Maaf bu..."

Rindu terkekeh. "Tidak apa....Terima kasih ya sudah menceriakan sore saya."

"Sama-sama bu....Apapun untuk ibu."

Rindu tersenyum.

"Jadi besok ibu pulang?"

"Iya Insya Allah."

"Ditunggu loh bu, kalau tidak..."

"Kalau tidak apa?"

"Saya akan jemput ibu pakai sepeda..."

Rindu terkekeh...."Tidak usah!"

"Iya siapa tahu ibu lupa jalan pulang."

"Tentu saja saya tahu. Simpan dulu rindumu ya!"

Angin tersipu.

"Sampai ketemu Angin...Assalamualaikum"

Belum sempat Angin menjawab, teleponnya sudah ditutup oleh Rindu.

Rindu memasukkan ponselnya ke dalam saku gamisnya. Namun ia masih tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya setelah menerima telepon itu.

"Rupanya kau punya kekasih?" Steve berusaha memancing walau ia harus menahan amarahnya.

Rindu menatap Steve, "tak punya kekasih. Kalau sudah waktunya saya ingin menikah saja."

Steve menghela nafas lega. Walau dalam hati ia menjadi geli sendiri. Bisa-bisanya isterinya itu lupa siapa dirinya.

"Lalu siapa?" Steve penasaran. Rindu merasa jengah diselidiki seperti itu.

"Muridku..." Jawab Rindu pendek.

"Owww..."

Rindu beranjak dari duduk, mengambil buku yang baru saja dipinjamkan Steve. "Sudah ya... saya masuk dulu."

Tanpa mendapat persetujuan, Rindu beranjak pergi. Steve menatap Rindu kekasihnya dengan bingung. 

ANGIN RINDU (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang