Puluhan anak sudah pulang semenjak azan Isya berkumandang. Anak-anak tidak mengaji seperti biasa malam ini. Hanya murojaah. Pasalnya, Rindu masih bingung bagaimana cara mengajar sekin banyak anak dalam satu waktu. Lagipula, Rindu juga hendak beramah-tamah dengan keluarga besar Engkong Samid yang sudah meminjamkan rumahnya untuk kegiatan mengaji.
Rindu baru hendak menggelar karpet, ketika seorang gadis berkerudung putih dengan senyum yang manis menghampiri Rindu.
"Sudah biar bu, saya saja yang merapikan..."
"Tak apa....biar saya saja...." Rindu tetap gigih menggulung karpet tempat mereka mengaji.Akhirnya gadis tadi tidak mengambil alih semua pekerjaan Rindu. Dia hanya membantu sedikit. Hingga semua tertata rapih di tempat semula.
Rindu menyeka bulir keringat di dahinya dengan ujung hijabnya.
"Capek ya bu?" Gadis yang sempat menghilang sejenak tadi selepas membantunya menggulung karpet, kini datang lagi. Lengkap dengan nampan berisi eko dan gelas-gelas.
"Minum bu..." Gadis itu tersenyum sambil menyodorkan gelas yang berisi air teh hangat.
Rindu tersenyum, "Terima kasih...."
Rindu minum perlahan air teh manis yang masih mengepul itu.
"Masih panas ya bu..." Gadis itu lagi melihat kea rah Rindu sedikit khawatir. Rindu hanya tersenyum sambil terus menyesap tehnya.
"Alhamdulillah...." Rindu meletakan gelasnya di nampan kembali.
"Rindu...." Rindu menyodorkan tangannya ke arah gadis itu.
"Lisda...", Gadis itu dengan malu-malu menyambut tangan Rindu.
"Lisda ini anak Engkong Ali, cucu Engkong Samid, sesepuh kampung sini..." Tiba-tiba suara bu Eko mengagetkan Rindu. Rindu menoleh ke arah sumber suara sambil tersenyum.
Ibu Eko datang dengan seorang laki-laki setengah baya yang berjenggot panjang, uga Engkong Samid dan Engkong Ali. Mereka semua pun duduk melantai.
"Bu....ini suami saya....Pak Sobari." Ibu Eko memperkenalkan suaminya.
Rindu tersenyum, dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada, "Pak...."
Pak Sobari tersenyum arif sambil menanggkkan kedua tangannya di depan dada juga dari kejauhan.
"Insya Allah, kalau ibu berkenan. Pak Sobari juga akan membantu mengajar bahasa Arab di sini." Bu Eko lagi. Mata Rindu berbinar-binar.
"Masya Allah....Tabarakallahu. Terima kasih pak....Allah seperti menjawab kegundahan saya barusan. Beberapa menit lalu saya kebingungan bagaimana saya bisa mengajar segitu banyak anak dalam satu waktu. Padahal, saya juga masih ada kelas lain."
"Insya Allah saya bisa bantu bu. Tetapi mohon maaf, saya tidak bisa membantu mengajar setiap hari. Pasalnya, saya juga masih bekerja di kota. Paling hari-hari tertentu saja saya bisa datang."
Sejenak raut wajah Rindu berubah kecewa.
"Tetapi jangan khawatir bu, Istri saya, anak, juga Lisda ini bisa diberdayakan untuk membantu..."
Wajah Rindu kembali cerah. "Alhamdulillah!"
"Tentu saja bukan untuk mengajar mengaji. Tetapi mendampingi ibu Rindu untuk menjaga anak-anak supaya tertib. Tetapi kalau bu Rindu berkenan, mereka bisa membantu mengajar di kelas Iqra." Pak Sobari lagi.
Rindu tersenyum, "Alhamdulillah..."
"Tapi kalau ibu mau....Saya bisa minta tolong Ustadz Fajar untuk mendampingi ibu...." Engkong Ali
"Ustadz Fajar?" Rindu menatap Engkong Ali. Sekilas Rindu bisa melihat Lisda bersemu merah dan menunduk.
"Iya....ustadz muda. Masih kuliah agama di kota. Setidaknya dalam seminggu, dia bisa mengusahakan untuk datang ke sini."
Rindu tersenyum, "Wah senang sekali kalau banyak orang pandai yang mendampingi saya yang bukan apa-apa ini."
"Insya Allah nanti saya akan berikan jadwalnya ke ibu ya....kapan saya bisa datang dan tidak." Pak Sobari lagi. Rindu mengangguk sambil tersenyum.
"Kalau boleh tahu, mau dinamakan apa pengajian ini bu?" Ibu Eko ikut nimbrung.
"Harus?" Rindu menatap bu Eko.
"Gak sih...tapi alangkah baiknya kalau ada namanya..." Ibu Eko lagi. Dahi Rindu berkernyit seperti berpikir.
"Tak perlu sekarang bu..." Pak Sobari terkekeh. Rindu tersenyum.
"Bagaimana kalau TPA Ar Rahman...Karena kebetulan anak-anak sudah hafal surah Ar Rahman." Rindu tiba-tiba. Rindu menatap wajah Ibu Eko, Lisda, Pak Sobari, Engkong Ali dan Engkong Samid satu persatu.
"Bagus!" Ibu Eko Spontan, yang lain manggut-manggut.
"Bagaimana kalau Rumah Quran Ar Rahman?" Celetuk Pak Sobari. Sejenak dahi Rindu berkernyit.
"Saya setuju!" Rindu dengan mata berbinar-binar.
"Cakep tuh..." Engkong Ali.
"Iya bagus!" Bu Eko lagi. Lisda manggut-manggut.
"Jadi namanya Rumah Quran Ar Rahman ya...." Rindu lagi. Semua mengangguk sambil tersenyum.
Setelah itu, Rindu hanya beramah-tamah dengan keluarga Engkong Samid, ibu Eko, dan pak Sobari. Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Rindu pun pamit pulang. Karena Rindu merasa rumahnya paling jauh disbanding peserta yang lain.
"Yakin tidak mau diantar bu?" Tanya pak Sobari.
"Terima kasih pak...saya bisa sendiri Insya Allah..."
"Saya antar bu...." Lisda menawarkan.
"Ah, nanti setelah mengantar saya, kamu siapa yang mengantarkan?'
Lisda pun terkekeh.
"Berani ya?" Engkong Ali ikut memastikan Rindu berani pulang sendiri. Rindu mengangguk pasti.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu..." pamit Rindu. Tanpa menunggu jawaban, Rindu sudah bergegas meninggalkan halaman rumah Engkong Samid, menempus kegelapan menuju rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGIN RINDU (Completed)
RomantikHidup Rindu Larasati, seorang penulis kenamaan yang tinggal di New York tiba-tiba berubah drastis pasca kecelakaan parah yang membuatnya hilang ingatan. Tidak ada secuil memori tentang dirinya dan masa lalunya yang tersimpan di otaknya. Seketika itu...