Ia memeluk erat tubuh orang yang ada di depannya itu. Seolah takut jika sewaktu-waktu, orang itu akan menghilang dalam satu kedipan mata. Benar-benar terlihat ketakutan.
Sebuah usapan lembut di kepalanya, membuatnya mendongkakkan kepalanya, menatap orang bertudung yang menyembunyikan setengah wajahnya. Namun dari posisinya, ia bisa sedikit melihat wajah yang tertutup itu.
"Pergilah, tempatmu ada di sana. Ini tidaklah layak untuk dirimu tinggal." Ia menggeleng kuat, meski jika orang lain pun akan mengatakan hal yang sama. Namun tetap saja, lebih baik ia berada di tempat ini daripada harus pergi.
"Hei, ingat? Kau seorang..."
"Aku tahu, tapi aku tidak ingin berpisah denganmu. Aku akan kesepian di sana." Lagi-lagi, ia mendapati sebuah senyuman hangat dari bibir itu.
"Aku akan menemuimu, dan menemanimu. Setelah semuanya selesai. Aku berjanji." Ia terdiam, mencerna rentetan kata yang diucapkan orang itu. Lalu, matanya menatap tepat ke arah iris berwarna cokelat itu.
"Kau berjanji?" Hanya anggukkan sebagai jawaban. Ia menghela nafas pelan, begitu kentara jika ia terpaksa ketika melepaskan pelukan eratnya itu.
"Pergilah, jangan sampai mereka lelah menunggumu." Dan itu adalah kalimat terakhir, sebelum ia berjalan menghampiri orang-orang yang sedari tadi menunggu dirinya datang menghampiri.
* * *
Rean Philion, anak kedua dari Raja Xen dan Ratu Izuna. Serta satu-satunya adik yang dimiliki Zean Philion, Pangeran serta penerus tahta kerajaan Elcar. Dan kini, perempuan yang baru saja menginjak usia 20 tahun, tengah berdiri dengan pandangan yang menghadap ke arah Hutan Kard. Hutan yang benar-benar gelap.
Bukan karena ada sesuatu di hutan itu, melainkan saat ini Rean tengah kesal. Kesal pada semua keluarga bahkan orang yang ada di Istana ini. Yang sejak satu bulan lalu, tidak ada satupun yang percaya padanya.
Tidak, kecuali ada orang itu.
Rean menghela nafas panjang entah untuk keberapa kalinya. Hari ini seharusnya adalah hari terakhirnya di kurung di kamarnya sendiri. Ya, karena ucapannya yang katanya tidak masuk akal itu, Rean dihukum dengan dikurung di kamarnya sendiri dalam waktu sekitar satu minggu.
Itu adalah hukuman oleh Raja Xen, Ayahnya sendiri. Yang beralasan jika Rean harus menenangkan diri beberapa saat, setelah sebelumnya ia hampir diculik oleh para perompak. Hampir, ingat? Karena buktinya, ia sudah berada di Istana. Bahkan ia tidak merasa jika dirinya takut untuk ke luar Istana. Ia bukanlah Putri yang begitu lemah, namun tetap saja takkan ada yang percaya padanya.
Lagipula, memang umumnya seorang Putri itu memiliki sifat lemah lembut. Namun tampaknya, hanya Rean saja yang tidak memiliki sifat itu.
"Rean, hukumanmu sudah selesai. Kuharap, kau bisa menghentikan untuk terus membela teman mu itu." Rean mendengus pelan. Ia perlahan berbalik dan mendapati Kakaknya, yakni Pangeran Zean yang tengah berdiri sekitar setengah meter dari tempat Rean berdiri.
"Memang apa salahnya? Lagipula, hanya dia yang benar-benar membantuku disaat seluruh prajurit Istana tidak bisa berkutik." Rean menatap datar pria bertopeng di depannya itu. Bukannya bersyukur karena dirinya kembali dengan selamat, Zean justru menganggapnya seolah tidak ada. Dan jika ingin tahu, baru hari ini Zean mendatanginya setelah satu bulan.
"Dia adalah orang asing. Hal buruk bisa saja terjadi jika kau terus bersama pemuda itu." Rean memutar kedua bola matanya dengan malas. Pemuda? Tampaknya para prajurit benar-benar tidak memperhatikan siapa orang yang bersamanya waktu itu. Menggelikan.
"Dia akan tetap menjadi temanku. Dan ingat! Dia adalah perempuan." Setelahnya, Rean segera berjalan menjauh dari Zean. Keluar dari kamarnya dengan langkah cepat, bahkan membiarkan para dayang yang mengikutinya dengan susah payah. Biarlah, yang ia inginkan adalah tidak diganggu oleh orang-orang itu.
Mengabaikan para pelayan serta prajurit disekitar, Rean terus berjalan bahkan semakin mempercepat langkahnya. Membiarkan kakinya membawa dirinya ke arah bagian belakang Istana. Di mana terdapat sebuah pohon yang selalu dipakai Rean berteduh dikala ia tengah kebosanan. Dan kini, sesuatu dalam hatinya menyuruh dirinya untuk ke sana saat itu juga. Entah ada apa.
Begitu sampai, Rean baru menghela nafas panjang. Ia menundukkan kepalanya dengan senyuman miris di wajahnya. Ya, miris. Padahal ia berada di rumahnya sendiri, namun perlakuan mereka begitu asing bagi Rean. Tidak seperti orang itu. Meski hanya sebentar, namun perilaku orang itu kepadanya begitu tulus. Ia bisa merasakannya.
Lebih baik aku dimarahi olehmu daripada kesepian seperti ini, batin Rean. Sebelum ia mendengar ranting pohon di atasnya bergerak.
Dahi Rean menyerngit, perlahan ia mengangkat kepalanya. Saat itu, matanya terbelalak lebar ketika mendapati jika ada seseorang di atas pohon. Terlebih, ia tahu siapa orang itu.
"Liao" gumam Rean, namun nampaknya orang di atas pohon itu tahu apa yang Rean katakan. Karena kini, ia tersenyum.
"Tampaknya ada yang begitu merindukanku." Rean mundur beberapa langkah, memberikan ruang bagi orang bernama Liao itu untuk turun dari atas pohon.
Begitu turun, Liao langsung disambut pelukan erat dari Rean. Perempuan itu bahkan terisak kecil karena akhirnya, Liao datang sesuai janjinya. Berbeda dengan Liao yang kini mengusap lembut kepala Rean.
Kegembiraan Rean tampaknya tidak diizinkan terlalu lama. Karena di sana, tidak jauh dari tempat mereka berada saat ini, para dayang yang sejak tadi mengikuti Rean berteriak. Meminta agar Nona-nya ini menjauh dari Liao.
"Nona, saya mohon. Menjauhlah dari pemuda itu, ini tidak baik." Rean mendengus kesal, sedangkan Liao sendiri hanya tersenyum tipis. Liao sudah terbiasa dengan hal ini, meski ia yakin jika perempuan di hadapannya ini tidak seperti dirinya.
"Sudah kubilang, jangan memakai pakaian seperti ini. Atau setidaknya, buka tudungmu itu." Liao menaikkan sebelah alisnya untuk beberapa detik, lalu ia mengedikkan bahunya tidak peduli.
Penampilan Liao saat ini memang tidak menunjukkan jika ia perempuan. Celana panjang berwarna cokelat tanah, sepatu boots hitam, kemeja cokelat, serta jubah bertudung dengan warna sama yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Selain itu, dua pedang yang berada di pinggangnya membuat orang-orang meyakini jika Liao adalah laki-laki petarung.
"Tuan Putri, Anda diminta menghampiri Paduka Raja bersama pemuda itu." Dan lagi-lagi Rean mendengus kesal. Namun itu hanya sebentar setelah tahu jika akan ada hal buruk yang terjadi setelah ini. Bukannya ia mencemaskan diri sendiri, namun ia mencemaskan Liao. Yang bisa saja saat ini juga masuk ke dalam penjara.
Mengikuti prajurit tadi, Rean dan Liao berjalan beriringan. Keduanya berada pada kondisi perasaan yang berbeda jauh.
Jika saat ini Rean tengah mencemaskan Liao, maka Liao sendiri begitu tenang tanpa ada rasa takut yang terpancar di wajah perempuan itu. Wajah yang tampaknya baru Rean sendiri yang melihatnya.
"Liao, aku...jujur saja aku benar-benar begitu cemas untuk saat ini." Liao melirik ke arah Rean lalu tersenyum tipis.
"Aku pernah mengatakan akan menyelesaikan urusan dulu, kau ingat?" Rean mengangguk.
"Dan itu akan sangat berguna untuk saat ini. Tenanglah, sku takkan membiarkan diriku sendiri masuk ke dalam penjara." Rean menghela nafas, meski ucapan Liao begitu meyakinkan, namun perasaannya belum juga membaik. Masih tetap cemas.
"Tapi pekerjaanmu..."
"Menjadi pengawal bayaran, apakah itu sebuah kejahatan?" Rean kembali mengatupkan bibirnya rapat. Memang, pekerjaan Liao bukanlah sesuatu yang terlarang. Hanya saja...ia tahu bagaimana sifat dari Ayahnya itu.
Dan kini, keduanya telah sampai di depan pintu ruang singgasana. Kenyataan yang semakin membuat Rean cemas akan apa yang terjadi selanjutnya.
Next Chapter is loading...
Bandung, 29 November 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Sword [THE END]✓
FantasíaKisah antara seorang Pangeran dan seorang gadis dari desa. Satu takdir yang mempertemukan mereka, menjadi awal munculnya dua takdir yang berbeda. "Kita berada di takdir yang berbeda, Pangeran." Zean terdiam. Matanya langsung menatap lekat Liao, deng...