Hari masih siang namun Hanbin sudah sampai di rumah.
Tumben, pikir Jinhwan. Sebab setau dia, suaminya itu sangat hobi pergi main dengan teman-temannya selepas kuliah. Entah jalan-jalan ke mall, karaoke, nonton, maupun cuma nongkrong tidak jelas di parkiran.
"Malas. Mereka pada mau main bilyard dan ngecengin tante-tante." Alasan Hanbin menjawab pertanyaan heran istrinya.
"Kau tidak ikut karena yang dicari tante-tante?" Jinhwan mencibir separuh menuduh.
"Aniya." Hanbin menggelengkan kepala. "Kalaupun yang mereka kecengin gadis muda aku juga tidak mau ikut. Rata-rata tipe mereka itu yang tinggi, langsing, cantik, seperti model."
"Terus?" Sambar Jinhwan judes. Entah kenapa dia jadi kesal mendengar perkataan suaminya.
"Aku 'kan spesialis yang kecil, mungil, manis, dan ngambekan seperti ini." Hanbin menoel bawah dagu Jinhwan.
"Ih gemes!" Godanya membuat sang istri melototkan mata dan menghentakkan kaki namun semburat merah di kedua pipi tetap tidak dapat gadis itu sembunyikan.
"Aigu kyeowoo~ Jinanie kyeowooo~" Hanbin melanjutkan godaannya membuat Jinhwan melempar bantalan sofa tepat ke mukanya tapi pemuda tersebut hanya tertawa.
.
"Main sama Papa," ujar Jinhwan saat muncul di ruang duduk dengan menggendong Junhoe yang menyandarkan kepala malas di dadanya. Bocah itu baru bangun dari tidur siang, masih setengah mengantuk. Mulut mungilnya menguap lebar, dengan kedua tangan dia menggosok mata sipit waktu diturunkan Jinhwan ke pangkuan Hanbin yang sedang asyik bermain bola karet.
"Halo, tukang tidur~" sapa Hanbin mengusap kepala bulat Junhoe. Anaknya menggeliat di atas kaki panjang sang ayah persis ulat daun mengundang tawa geli Hanbin.
Sepasang mata kecil Junhoe mengerjab. Memandang tangan papanya yang sibuk memainkan bola karet, melemparnya ke lantai dan langsung membal naik kembali ke telapak tangan Hanbin. Terlihat menyenangkan.
"Papa, itu apa?" Tunjuk Junhoe dengan telunjuk mungil.
"Bola karet," jawab Hanbin. Masih mengulangi gerakan yang sama seolah tidak merasa bosan. Melempar bola ke lantai sampai mental kembali ke tangannya.
"Boya kayet?" Gumam Junhoe, lekat memandang tangan Hanbin. "Cuni mau."
"Hm?" Tanya Hanbin tidak terlalu dengar ucapan anaknya yang masih serak dan pelan karena baru bangun tidur.
"Cuni mau main duda (Junie mau main juga)," ulang Junhoe.
"Ini bukan seperti bolamu yang biasa. Susah memainkannya," ujar Hanbin.
"Aaa~ Cuni mau~" Junhoe mulai merajuk. "Papa~"
"Kalau minta sesuatu harus bilang apa?" Tanya Hanbin.
"Tuceyo~" Junhoe menjawab dengan cepat.
"Junie mauㅡ" Hanbin memancing.
"Cuni mau pindam tuceyo~" Junhoe meletakkan telapak tangan kanannya di atas tangan kiri, menengadah pada Hanbin yang tergelak karena gemas.
"Ini. Hati-hati mainnya." Pemuda tersebut meletakkan bola karet di telapak tangan Junhoe yang langsung bersorak senang. Bocah itu merosot turun dari atas sofa tempat Hanbin duduk, melempar bola ke lantai dan menatapnya mental tinggi ke atas dengan mata berpijar.
"Tangkap! Tangkap!" Seruan Hanbin membuat Junhoe terlonjak dan langsung berlari untuk mengambil bola yang masih mental beberapa kali hingga akhirnya menggelinding di ubin lantai dan berhenti di bawah meja.
Junhoe tertawa senang, merangkak melewati kaki kursi sampai ke bawah meja untuk mengambil bola, lalu membawanya kembali ke tempat lebih lapang. Dia membanting bola ke lantai lebih keras membuat benda itu memantul sangat tinggi. Hanbin melompat kaget, dengan sigap menangkap bola sebelum mendarat di vas bunga pajangan yang terbuat dari porselen. Untung dia cepat bergerak, kalau tidak sudah pasti vas seharga ratusan ribu won hadiah dari mertuanya akan pecah berantakan.
"Papa bilang, mainnya hati-hati." Hanbin menjitak pelan kepala Junhoe. "Jangan dilempar keras-keras."
"Ehehehe," Junhoe terkekeh.
"Dilempar ke dinding saja," ujar Hanbin seraya memberikan lagi bola karet ke tangan anaknya tanpa terpikir olehnya jika saran barusan akan lebih parah daripada bayangan vas bunga mahal yang pecah.
Junhoe membawa bola karet mendekati dinding. Melemparnya sekuat tenaga mengaktifkan hukum pegas daya dorong berbanding lurus dengan daya balik, membuat bola itu mental kuat tepat ke arahnya.
DUAG!!
Tubuh kecil Junhoe ambruk ke belakang dengan bokong jatuh lebih dulu. Lebih parah lagi, jidatnya langsung memerah kena hantam bola karet yang dia lempar ke dinding.
Mata Hanbin melotot kaget.
"HUWAAAAAAAAAA!!!!!" Tangisan Junhoe meledak paling keras dari yang selama ini pernah dia lakukan.
"HUWAAAAAA!! HUWAAAAAA!! HUWAAAAAAA!!!" Balita itu menjerit-jerit tak terkendali merasakan sakit di muka serta bokongnya.
Jinhwan berlari tergoboh-goboh dari dapur dan mendapati Hanbin tengah memeluk erat anak mereka yang masih meraung-raung.
"Apa yang terjadi? Kenapa dia?" Tanya Jinhwan panik.
"Mukanya kena bola," cicit Hanbin membuat mata istrinya membelalak lebar.
"Bagaimana itu bisa terjadi!?" Tanya Jinhwan nyaris berteriak.
"Maaf..." Desis Hanbin, tak berhenti menimang Junhoe dan mengusap lembut jidatnya yang mulai menghitam serta membentuk benjolan.
"Buatkan kompres es," pinta Hanbin yang langsung dilaksanakan Jinhwan. Wanita itu berlari ke kamar untuk mengambil kain bersih dan pergi ke dapur mencari bongkahan es batu, membalutnya dengan kain, lantas diberikan pada Hanbin.
"HUWAAA! PAPA! PAPA! HUWAAA!" Junhoe masih menangis.
"Iya, Papa di sini. Sakit ya? Cup cup cup," Hanbin menimang anaknya seraya meletakkan kompres es di benjolan kepala Junhoe.
Selama hampir lima belas menit Junhoe masih menangis. Dia baru berhenti saat nyeri sudah berkurang di kepalanya namun di sisa hari itu Junhoe terus rewel dan sama sekali tidak mau turun dari gendongan Hanbin. Dia akan menangis saat diturunkan membuat kedua orang tuanya mau tak mau bergantian menggendong bocah tersebut sampai malam.
.
.
.
😂
Terinspirasi dari postingan Hanbin di ig
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Daddy #1
Fiksi PenggemarBinHwan (Hanbin X Jinhwan) BNior (JB/Jaebum X Jinyoung) iKon GOT7 GS Kisah sederhana (yang berharap akan sedikit bermakna #eak) tentang Hanbin, remaja 20 tahun yang menginginkan kehidupan normal seperti anak muda seusianya, tapi keberadaan balita du...