Bab 8 (Rumit)

984 63 0
                                    

'Kita harus rela ngorbanin waktu, pikiran, dan diri kita sendiri, demi selembar kertas yang belum tentu buat kita berhasil.'

↪↩

Hari menjelang sore, matahari bergerak lambat menuju ujung bumi. Awan-awan oren bergerak pelan menutupi matahari. Jalanan Jakarta ramai kendaraan, asap kendaraan mencemari udara, para buruh dan karyawan pulang ke rumah masing-masing. Mengakhiri kegitan padat seharian, demi mendapat sebuah istirahat sejenak.

Tin! Tin! Tin!

Klakson beberapa kendaraan beradu ketika kemacetan terjadi. Semua orang sama-sama ingin cepat pulang ke rumah masing-masing.

Di trotoar jalanan, empat anak SMK berjalan pelan sambil bercakap ringan. Mereka adalah Della, Heri, Rio, dan Melly. Keempatnya baru saja selesai melakukan observasi industri. Wajah mereka sumringah, seperti baru saja ada hal bahagia yang terjadi.

"Besok kita harus selesain laporannya!" seru Melly bersemangat.

"Jangan terlalu semangat, Mel! Nanti hasilnya diluar ekspetasi, sakit hati," tegur Heri membuyarkan semangat melly.

"Ih! Lo buat gue bad mood!" Melly cemberut dan menatap sebal pada Heri. Gadis itu sangat terlihat kekanakan saat ini.

"Mending lo bad mood sekarang daripada bad mood habis presentasi," ucap Heri sebari mengedikkan bahunya.

Rio diam sambil menatap jalanan yang penuh dengan kendaraan, "Rumit."

Ketiga orang di samping Rio menoleh bingung.

"Apa yang rumit?" tanya Melly bingung, "Lo lihat kemana, sih?"

"Rumit jadi orang dewasa," balas Rio.

"Kenapa?" Heri masih tak mengerti dengan perkataan Rio.

"Lo harus capek pulang-pergi demi uang. Disaat lo capek, lo ngehadapin macet. Bukannya itu rumit? Belum lagi semua tagihan," jelas Rio pelan.

"Bukannya kita juga cukup rumit?" timpal Melly sambil menghentikan langkahnya.

Keempatnya berhenti melangkah, mendengarkan perkataan Melly.

"Kita harus rela ngorbanin waktu, pikiran, dan diri kita sendiri, demi selembar kertas yang belum tentu buat kita berhasil," lanjut Melly dengan senyum mirisnya.

Rio diam menatap Melly, perkataan gadis itu ada benarnya juga.

"Eh, kenapa jadi begini, sih! Pulang, yuk? Udah sore juga." Melly tertawa terpaksa, lalu mengajak keempatnya pergi dari jalanan yang padat dan pengap oleh asap.

Della terdiam. Selama ini dirinya tak pernah bepikir sejauh itu. Otaknya hanya ia gunakan untuk memikirkan pelajaran di sekolah. Bahkan, sampai saat ini dirinya belum memiliki mimpi dan keinginan akan menjadi apa nanti. untuk kedua kalinya, perkataan Melly mampu mengggoyahkan kepercayaan dirinya.

↪↩

Mata Jessica melirik jam dinding di sekolahnya. Sudah jam 6 sore dan ia belum pulang. Alasan satu-satunya mengapa tak betah di rumah adalah, mamanya. Entah sejak kapan rasa tak enak itu muncul pada dirinya, ia tak yakin.

Seorang lelaki paruh baya, penjaga sekolah, menghampiri Jessica, "Neng, nggak pulang? Udah sore, nanti mamanya nyariin."

Jessica mendongak, "Nggak, Pak. Sebentar lagi saya pulang, kok. Lagian, mama juga gak bakal nyariin."

"Pulang sekarang aja, ya, Neng? Gerbangnya mau saya tutup," bujuk penjaga itu dengan wajah memohon.

Jessica memikirkannya, lalu mengangguk. Ia tak enak dengan penjaga sekolah yang selalu menunggunya pulang sampai sore. Dilangkahkan kakinya keluar sekolah, lalu berjalan menuju rumah dengan pelan.

Geeky Girl [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang