Bab 16 (Teringat Kembali)

788 52 1
                                    

'Dirinya nampak kokoh di luar, tapi sebenarnya sangat hancur di dalam.'

↪↩

Jalan Bakti. 21:00.

Sekumpulan anak lelaki duduk di atas motor dengan beberapa senjata tajam. Tak jarang dari mereka membawa gir motor dan pisau lipat. Jumlah mereka tak sedikit, sekitar 40 orang. Tiga lelaki berbadan besar, berdiri paling depan, memegang samurai panjang yang telah disiapkan. Di sisi lain, lelaki berparas Eropa bersandar di pohon sebari menatap malas. Sejujurnya lelaki itu enggan mengikuti kegiatan ini. Dulu memang hal ini adalah hobinya, untuk mengalihkan pikirannya. Namun, saat ini ia telah malas berurusan dengan polisi. Catatan kriminalnya sudah banyak meski belum genap 17 tahun, dirinya juga sudah dikenal nakal di sekolah.

"Gue balik," pamit lelaki berparas Eropa itu sebari menegakkan tubuhnya dan menaiki motornya.

"Kenapa balik? Takut?" Kakak kelas dengan tubuh jangkung menghalangi jalannya.

"Minggir, ada hal yang lebih penting." Lelaki itu mendorong kakak kelas di hadapannya, lalu memutar motor dan meninggalkan jalanann gelap nan sepi di pinggir kota. Tubuhnya sedikit menggigil, merasakan angin malam menusuk kulit. Name tag di dada kanannya terlihat Jelas dan mudah dibaca.

Jonatheil Ferrel A

↪↩

Della mengusap kasar wajahnya. Tak habis pikir dengan Rio dan Heri. Kedua lelaki itu tetap tak ingin bertemu, padahal deadline pengumpulan laporan mereka sebentar lagi. Jelas-jelas Della panik saat ini. Ia tak lagi membantu ibunya, karna Jessica datang lagi ke rumahnya untuk membantu ibunya. Ia tak keberatan, malah bagus jika Jessica di rumahnya, ada yang menemani ibunya selama ia tak di rumah.

Ponsel di hadapannya bergetar, diangkatnya panggilan masuk dari Rio, "Halo?"

"Dimana?"

"Siapa?"

"Lo."

"Saya di rumah. Mengapa?"

"Keluar. Gue di depan."

Mata della sedikit melebar, ia langsung melangkah keluar kamar dengan piyama di tubuhnya.

"Ayu, mau kemana?" tanya ibunya ketika melewati dapur. Ibunya tengah membuat bolu dengan Jessica.

"Ke depan, ada teman di sana." Secepat kilat Della berlari, lalu menghentikan langkahnya di depan pagar rumah. Seorang lelaki tengah duduk di atas motor dengan ponsel di telinganya, menoleh padanya.

Rio tersenyum, "Malam, Della."

Tanpa dapat berkata, kaki Della melangkah, ini kali pertama dirinya melihat Rio dengan pakaian casual. Rambut hitam Rio sedikit mengembang dan acak-acakan. Mungkin rusak terbawa angin ketika membawa motor.

"Ada apa ke sini?" tanya Della dengan ragu. Dimatikan sambungan telpon pada Rio.

"Gue mau ngomong, cuma sebentar gak akan lama." Rio bangkit dan menurunkan ponselnya, "Udah mau tidur, ya?"

"Tidak." Della mengggeleng.

"Gue mau kasih tau lo masalah gue sama Heri. Entah kenapa, gue ngerasa harus ngejelasin sama lo." Rio beralih pada piyama yang dipakai Della, "Piyamanya lucu."

Della jadi salah tingkah sendiri, kepalanya berkali-kali menunduk, namun terangkat kembali. Kini, perlahan dirinya mulai membuka diri pada dunia. Dilihatnya Rio yang tersenyum kecil.

Dingin malam menusuk kulit, gelap dan sepi menjadi latar suasana malam itu. Suara berat milik Rio terdengar samar, membuka lembaran lama yang nanti berakibat pada lembaran baru.

↪↩

"Abang dari mana aja, sih?!" omel Jessica yang tengah duduk bersama Bu Intan di saung kosan, ketika melihat Jono yang baru pulang dengan seragam sekolahnya. Kini telah pukul sepuluh, tidak mungkin sekolah memulangkan muridnya hingga larut malam.

"Dari surga. Ngapain kamu di sini?" tanya Jono balik, ia duduk di sisi lain Bu Intan, "Bu, Jessica nakal, ya?"

Bu Intan menyentil dahi Jono, "Yang nakal itu kamu. Bawa cewek ke kosan kok gak bilang? Hampir Ibu ngira dia pacar kamu!"

"Aduh!" Jono mengusap dahinya, "Semalam saya pulang larut, Bu. Gak mungkin saya gedor-gedor pintu rumah Ibu. Yang ada nanti saya dibacok sama suami Ibu."

"Alesan." Bu Intan menatap Jono tulus, "Jessica biar tinggal di rumah Ibu aja, Jono. Gak baik perempuan tinggal satu kos-an sama lelaki. Walaupun kalian saudara, tetap gak enak dilihat. Apalagi kalian berdua udah sama-sama dewasa."

Diam tak ada suara selama Jono berpikir. Ia merasakan hal yang sama dengan Bu Intan, namun rasanya tak enak menitipkan adiknya pada orang lain. Dirinya masih mampu untuk mengurus Jessica.

Seakan tahu apa yang dipikirkan Jono, Bu Intan tersenyum, "Kamu tenang aja, jangan ngerasa gak enak. Saya kesepian di rumah, makanya ngizinin Jessica tinggal. 'Kan kamu tau sendiri, anak Ibu udah menikah semua."

Mata hitam Jessica menatap lamat-lamat abangnya. Terlihat jelas abangnya sangat memperhatikannya. Hal itu yang membuat hatinya menghangat. Kini abangnya berbeda dari setahun yang lalu. Dimana hari kehancuran keluarganya, membuat mereka terpecah belah dalam remuknya perasaan.

"Ya udah, Bu, saya titip Jessica, ya. Tapi, semua keperluan Jessica biar saya yang urus. Ibu cukup kasih Jessica tempat tidur aja." Akhirnya Jono mengangguk setuju. Meski berat, banyak hal yang lebih membuatnya lebih yakin untuk menitipkan Jessica. Gadis itu perlu seorang ibu untuk pertumbuhannya.

"Nah, gitu, dong!" Bu Intan, "Ayo, Jessica, kita masuk. Gak baik perempuan di luar malam begini."

"Abang, aku pergi, ya." Jessica bangkit dan pamit pada Jono.

"Iya, besok pagi sekolah, abang udah siapin semua keperluan kamu."

"Siap!" seru Jessica, lalu berjalan masuk ke dalam rumah Bu Intan, hingga gadis itu hilang tertutup pintu coklat.

Bibir Jono melengkung kecil, membentuk senyuman seperti bulan sabit. Malam itu, dalam dinginnya malam, banyak kebahagiaan, juga kekhawatiran dalam pikiran Jono.

↪↩

Rama duduk diam dalam cafenya. Malam ini sangat dingin, membuat banyak pengunjung memesan americano hangat. Kini Rama tengah senggang, tak ada kegiatan untuknya.

Pikirannya melayang, kejadian 7 tahun yang lalu membuat pribadinya selalu tertekan. Ketika dirinya sendiri, pasti banyak teringat dengan kenangan lama. Begitu pahit dan sangat tak ingin diungkit. Sayangnya, kepalanya seperti kaset rusak yang tak ada obatnya. Berkali-kali dirinya meminta untuk berhenti dan membuka lembaran baru, justru kenangan lama terus bermunculan di benaknya.

Hatinya terus terluka di setiap saat. Dirinya nampak kokoh di luar, tapi sebenarnya sangat hancur di dalam.

'Semuanya bohong.'

Lamunan Rama terhenti ketika melihat rintik hujan turun dari langit. Dilihatnya langit sedikit kemerahan, sepertinya hujan deras akan segera turun. Tujuh tahun lalu pun begini. Ketika dirinya dilanda duka, hujan turun, menemaninya dalam kesedihan yang tak terbendung.

"Rama, ada pesanan!"

Kini Rama benar-benar tersadar, kepalanya tertoleh pada koki cafe, "Iya, Kak." Dirinya mengangguk lalu bangkit dan melangkah pergi.

'Aku rindu kalian.'

✴✴✴

Holla!
Jangan lupa vote dan comment!

Love,

Tania

Geeky Girl [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang